Entah bagaimana ceritanya belum genap seminggu kepergiannya ke Medan, Marsel suaminya sudah hadir dengan wajah kelelahan berdiri dihadapanku. Aku mencoba bersikap sewajar mungkin dengan mencium tangannya seperti kebiasaanku jika dia datang dari bepergian, menyediakan minuman kesukaannya es teh lemon dengan madu.
Sekedar berbasa-basi untuk mencairkan suasana aku mencoba menemaninya. Ibu Melia keluar dari dapur dengan sepinggan pisang goreng ditangannya.
"Cape yaa Mas?" tanya ibu mertuaku kepada anak kesayangannya.
"Biasa aja, kalo mo jadi kepala keluarga yang baik harus bertanggung jawab kepada orangtua, istri, anak juga semuanya" ujar Marsel sambil mengelus perutku yang masih datar.
Entah siapa yang bermain sandiwara atau sandiwara ini untuk siapa. Bintang lebih banyak diam kepalanya semakin pusing entah apa penyebabnya. Marsel memperhatikan istrinya yang sejak tadi terlihat diam,
"Bive, ada apa... junior ga bikin ulahkan?" tanya suaminya penuh selidik.
"Ga, dia anak baik ko" jawabku asal.
"Sapa dulu dong bapaknya" jawab Marsel bangga.
Melihat gayanya bikin hati ini tambah sakit. Tiba-tiba Tiwi asisten rumah tanggaku menghampiri,
"Bu pulang dulu...terus besok saya ijin yaa mo anter anak ke puskesmas nambal giginya banyak yang bolong" ujarnya singkat padat tanpa jeda.
"Oke, dah beres semua kan?" tanyaku lagi.
Marsel mengambil dompet dari saku celananya dan menyuruhku untuk memberi tiga lembar lima puluhan kepada Tiwi.
Jelas terlihat raut sumringah dari wajahnya, dengan terbungkuk-bungkuk dia pamit pada kami bertiga sambil membawa makanan yang biasa kubagi setiap selesai membantuku memasak dan uang pemberian Marsel.
Makanan sudah tertata rapi diatas meja aku menawarkan Marsel mau makan atau mandi dulu, suamiku ingin mandi dulu biar segar. Kusiapkan baju ganti dan handuknya. Sementara Marsel mandi kupisahkan pakaian kotor dari dalam kopernya lalu kubawa ke tempat mesin cuci. Sengaja pakaian ini kurendam sekarang karena besok Tiwi absen.
Dengan segala keyakinan yang ada kucoba mengembalikan kepercayaan diri untuk mandiri dalam segala hal. Aku berpapasan dengan ibu mertuaku di dapur saat selesai dari tempat cuci.
"Tang, besok mama mau pulang ya Marselkan sudah datang" ujar Bu Melia dengan suara tersendat.
Bintang meyakinkan ibu mertuanya kalau yang didengarnya adalah benar.
"Kenapa mama ga tinggal disini bersama kita" ungkap Bintang tulus.
"Mama ga mau merepotkan, melihat kamu mengurus Marsel aja itu sudah bikin senang" suara mama kian merendah.
"Mama marah sama Bintang yaa?" tanya Bintang lagi.
"Justru mama mau tanya sama Bintang sekalian minta maaf kalo suka ikut campur" ujar mama polos.
Hatiku mulai bimbang sejahat itukah diriku kepada wanita berusia enam puluh lima tahun ini, yang mencoba melindungi buah hati dan keturunannya yang ada didalam rahimku. Apakah hal yang sama akan kulakukan jika anakku sudah berumah tangga. Tegakah aku bersikap kasar kepada nenek dan ayah dari janinku. Aku berusaha menguasai diri agar tidak terlihat konyol di depan mereka.
"Maafkan Bintang yaa, temani kita disini" ujar Bintang dengan menempelkan tangan ibu mertuanya ke dekat perutnya.
Keduanya tidak menyadari jika Marsel sedang memperhatikan keduanya.
"Ini acara dramanya mo sampai jam berapa...aku laperr Bive!" ujar Marsel dengan gayanya yang bikin kesal.
"Yaa cerewet" jawabku berpura-pura marah.
Bu Melia tersenyum melihat tingkah anak dan menantunya. Menyadari situasi ini rasanya aku tidak tega memberikan pilihan kepada Marsel, orang yang sama-sama aku dan mertua sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar