Hampir semalaman aku tidak bisa memejamkan mata, silih berganti masalah datang bagaikan cuplikan drama televisi yang sering tayang di chanel favoritku. Karena lelah akhirnya mata ini terpejam juga. Sayup-sayup ku dengar panggilan Allah melalui suara merdu muadzin mengumandangkan adzan subuh. Dengan setengah mengantuk ku paksa tubuh ini untuk mengambil air wudlu. Basuhan air wudlu membuat mata dan tubuhku terasa segar meyambut hari pertama di awal tahun.
Gerakan sholat subuh ku anggap sebagai relaksasi dalam menenangkan pikiran dan tubuh. Ku coba terapkan dalam hati untuk semangat menjalani hidup menyongsong tahun baru ini.
Pagi ini sengaja aku luangkan waktu untuk berjalan-jalan menikmati sisa-sisa pedesaan di kampungku yang sudah terguras oleh simbol moderenisasi... entah makhluk apa itu.
Aku menemani Bi Eti ke pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan yang akan di pakai untuk memasak hari ini. Salah satunya ikan kembung yang akan di masak sup ikan dengan kuah bening di celupin cabe rawit gendut dan tomat hijau...hmm maknyus rasanya. Ini adalah menu favorit ayahku, teringat lagi akan wajah lelaki idamanku yang sedang menikmati sup ikan panas dan nasi yang masih mengepul. Betapa cinta dan sayangnya aku pada ayah, lelaki idolaku yang belum ku temui dengan lelaki manapun. Akibat terlalu terkesima dengan kekharismatikan ayahku makanya sampai saat ini aku masih betah melajang...
Hiruk pikuk pasar rupanya bisa mengalihkan kenangan cintaku pada ayah. Di tambah lagi suara cempreng Bi Eti yang nyaris menembus telinga membuatku tersadar kalau tawar menawar diantara Bi Eti dan tukang kue jejongkong belum ada kata sepakat. Permintaanku memang selama acara liburan ini suguhan makanan hanya yang berbau kampung. Mumpung disini, kalau di Jakarta mau cari kemana?
Kadang tidak habis pikiranku, kenapa bisa ya Mang Diman betah hidup didampingi Bi Eti yang cerewet, judes dan pelit. Berbeda dengan kedua orangtuaku yang termasuk kategori pasutri ideal. Jawaban santai Mang Diman karena cinta yang diberikan Bi Eti benar-benar tulus dalam mengabdikan hidupnya untuk keluarga. Cinta tidak pakai logika itulah kalimat yang sering dikumandangkan. Tetapi akal sehatku sering menentang,
"Emang mo makan pake cinta, mana kenyang!".
Buktinya Mang Diman dan Bi Eti yang ekonominya pas-pasan bisa bertahan. Di tambah harus menghidupi Teh Ina anak semata wayangnya dan lima orang cucu dari biang yang berbeda dan tidak tahu keberadaannya. Alasan cinta pula yang membuat Mang Diman mengambil alih semua peran tanpa melihat untung rugi. Alasan sederhana semua karena cintanya yang besar kepada Allah Azza wazzala. Kalau Mang Diman saja yang lulusan SD bisa memiliki cinta tanpa pamrih masa aku yang lulusan S2 akuntan dari negara Uncle Sam tidak lulus dalam urusan cinta! Mau sampai kapan?
Tepukan Mang Diman membuyarkan lamunanku.
"Makan dulu, yuk! Sudah matang tuh" sambil menunjuk ke arah meja makan.
Sambil berjalan bersisian ke arah meja makan Mang Diman berkata
"Hidup itu sederhana, neng. Jangan terlalu banyak ngitung...kita mah manusia cuma ngejalanin apa yang sudah di atur Allah. Ingat loh menikah itu sudah separuh dari ibadah kita" ujar Mang Diman bijak.
Sambil menarik kursi makan beliau melanjutkan perkataannya,
"Makanya si Ina jadi stres karena ibadah sudah abis di bagi-bagi! Orang nikah sekali aja sudah separuh apalagi tiga kali."
Aku hanya bisa senyum tak berarti sambil melihat Teh Ina yang sibuk menyuapi makan kelima anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar