Selasa, 25 April 2017

1: 1

   Sejak keputusanku untuk membawa Bu Melia tinggal bersama kami suasana agak sedikit berbeda.  Awalnya Marsel kurang setuju dan mencoba meyakinkan jika keputusanku sudah tepat, mertuaku terkenal dengan segala aturannya yang terkadang bikin bingung sedangkan anak kandungnya sendiri saja tidak kerasan terbukti Icha adik iparnya lebih memilih kos dibanding serumah dengan mama.

   Harapanku disaat menjalani kehamilan ini ada seseorang yang berpengalaman dan bisa menjaga emosiku.  Pasti ada solusi yang baik untukku dan Marsel, tidak mungkin Bu Melia mengacuhkan calon dinasti yang selama ini  diharapkan.  Menurut ceritanya almarhum bapak mertuaku amat sangat menginginkan keturunan laki-laki untuk melanjutkan nama besar Raden Mas Hadiprana.  Walau ku tahu Marsel amat membenci gelar tersebut yang dianggapnya sebagai jajahan terselubung.  Suamiku jarang bahkan tidak pernah mencantumkan gelar Raden Mas diawal namanya.  Dia lebih memilih nama Marsel tanpa embel-embel baik di depan atau belakang namanya.  Gelar kesarjanaannya saja malas di cantumkan apalagi yang lain, jawabannya singkat jika ditanya tentang hal ini.
"Kalo masih nyantumin gelar itu ketahuan ilmunya seberapa, belajar tuh seumur hidup."

Cara belajar Marsel memang unik dari pertama kenal di SMA sampai kita kuliah walau beda jurusan, dia ga pernah mencatat hobinya fotokopi itupun menjelang ujian selebihnya lebih senang praktek terjun langsung ke lapangan.

   Rencana sore ini Marsel dan mama akan ikut mengantar periksa kehamilanku ke dokter kandungan di rumah sakit terdekat. 
"Nyonya Bintang Marsel" suara suster memanggilku untuk masuk ke ruangan dokter Shinta. 
Aku memilih dokter perempuan untuk kenyamanan. Saat aku melangkah memasuki ruangan periksa kulihat mama sudah duduk manis berdiskusi dengan sang dokter.  Dengan santai mama menyuruhku duduk disebelahnya.  Marsel hanya tersenyum melihat gaya ibunya. Hatiku mulai curiga melihat tingkah keduanya, entah apa yang sedang di rencanakan.  Dokter menyuruhku untuk berbaring dan membolehkan suami dan ibu mertua melihat layar ultrasonografi atau USG tampak di layar empat dimensi calon bayi yang kini berusia empat bulan sudah mulai bergerak.  Bisa dibayang reaksi suami dan mertuaku yang heboh melihat calon keturunannya sedang menghisap ibu jari.
"Saya bisa memahami hal ini " senang yaa bu" ujar dokter kepada Bu Melia.

"Ya senanglah lucu banget, Dok" ujarnya.

Saat menunggu pengambilan obat, tergelitik hatiku ingin mengetahui bagaimana bisa sudah ada di ruang dokter sedangkan menantunya belum dipanggil. 
"Gampang, mama kan duduk dekat suster jaga bisa liat urutan nama terus sebelum Bintang di panggil mama sudah masuk" jelasnya bangga.

"Tapikan masih ada pasien sebelumnya?" tanyaku.

"Mama bilang ke dokter, maaf ya dikira anak saya sudah masuk" ujar mama terlihat lucu.

"Memang mama ga disuruh keluar?" tanyaku lagi.

"Ya gak lah, pasien itu lagi ngeluh gimana caranya menghilangkan rasa mual padahal sudah minum obat anti mual terus mama kasih saran untuk bangun pagi sebelum matahari terbit dan menghirup udara segar" urainya panjang lebar.

Aku cuma bisa mengangguk dan tertawa dalam hati, akankah anakku nanti seperti neneknya kreatif menghadapi masalah.

   Marsel mengajak makan malam di resto sehat yang tidak jauh dari rumah sakit.  Dengan asupan yang sehat untuk  anaknya dia berharap anaknya akan tumbuh sehat.
  
   Suamiku begitu antusias memesan menu sehat untuk kami berdua. Bu Melia melirik ke arah Marsel, dengan senyum sinis.
Pesanan fetucini dengan jamur champignon dan brokoli sudah tersaji di hadapanku.
"Ini bagus untuk perkembangan otak juniorku biar pinter kaya bapaknya" jelas Marsel sambil mengelus perutku.

"Emangnya tau?" tanyaku dengan senyum tertahan.

Beberapa kali mama berdehem sambil memasukan salad ke dalam mulutnya.  Merasa ada yang janggal dengan mama untuk itu kucoba membujuknya,
"Ma, ko cuma makan salad aja nanti ga kenyang"

"Kalo sudah tua harus banyak makan sayur dan buah, kecuali bumil kaya kamu harus banyak apa saja yang penting sehat" ujarnya ketus sambil melirik Marsel.

Aku sudah tahu jawaban kejanggalan ini sepertinya mama marah dengan Marsel tetapi masalahnya apa, itu yang masih kucari tahu.
  
   Mama merasa tenang ketika kutemani sampai ke kamar tidur.
Tetapi aku belum menemukan masalah yang sesungguhnya sampai kulihat Marsel yang sedang rebahan menonton tivi.
"Mahy, sini deh" ajakku sambil menepuk  bantal sofa di sebelahku.

"Kenapa Bive, serius banget" ujarnya berpindah rebahan di sofa dengan menaruh kepalanya dipangkuanku.

"Hari ini ngeliat mama aneh deh..merhatiin ga?" tanyaku.
Tiba-tiba Marsel tertawa keras sampai juniornya ikutan bergerak.
"Mama itu kalah taruhan" terperanjat mendengar jawaban Marsel.
Menurutnya kalau mual pada wanita hamil itu karena perasaannya bukan karena pengaruh bayi buktinya setiap wanita bahagia dia tidak merasa mual.

Ya Allah, ternyata untuk urusan perhatian kepadaku saja mereka bersaing.
"Berarti skorku 1:1" ujarnya senang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar