Jagung Bakar
Waktu aku masih kecil setiap lebaran hari kedua, keluargaku punya
tradisi pulang kampung. Maklum di
kampung masih ada wanita spesial yang wajib dan kudu di sungkemin. Mbu, panggilan sayang kami anak cucunya
kepada wanita yang amat sangat di cintai oleh ayahku. Wanita yang bernama
Sukaesih adalah Ibu kandungnya, rasa hormat dan sayang ayah kepada Mbu memang sangat jauh bila di bandingkan dengan
adik-adiknya yang lain. Walaupun Mbu
tidak tinggal serumah dengan anak-anaknya namun bukan berarti ayah dan adik-adiknya
tidak pernah pengajak untuk tinggal serumah.
Dari cara halus sampai ancaman sudah di lakukan namun tetap saja Mbu
lebih memilih untuk tinggal di rumah peninggalan Mbah, sebutan untuk almarhum
suami tercinta. Mbu selalu bilang tidak
ingin merepotkan siapapun kalaupun harus menginap di rumah anak-anaknya tidak
lebih dari tiga hari. Bisa di bayangkan
waktu itu awal tahun 90an belum ada jalan tol, betapa hebohnya perjalanan dari
Menes-Jakarta sepanjang 150 km untuk usia 85 tahun.
Pernah suatu kali
ayahku di telepon tetangga yang mengabari kalau Mbu demam tinggi, mengingat ini
situasi genting tanpa panjang lebar ayahku langsung meninggalkan pekerjaannya demi menemui
belahan jiwanya. Dengan di dampingi ibu, ayah berusaha untuk tenang sambil
tidak hentinya berdo'a agar tidak ada sesuatu yang di menakutkan. empat jam kemudian ayah dan ibu sudah sampai
di tempat tujuan, sudah banyak tetangga yang berkumpul. Dengan perasaan dag dig dug, ayah mengusap
wajah Mbu sambil mencium tangannya.
Tiba-tiba Mbu terbangun sambil bertanya dengan nada tinggi
"Jagungnya mana!"
"Jagung apa, Bu?" tanya ayah.
"Jagung bakar!" seru Mbu lagi.
Dengan wajah panik ayah berusaha mencari tahu, kemudian mang Engkus yang
biasa menjaga rumah Mbu menerangkan bahwa sudah 3 hari Mbu minta jagung bakar. Ibuku tidak kalah emosi,
"Kenapa ga di beliin, nanti juga di ganti uangnya!"
Dengan wajah lesu Mang Engkus menjawab, "Bukan ga mau beliin teh,
tapi gimana makannya!".
Ayah, ibu dan tetangga yang berada di dekat Mbu terdiam semua. Tiba-tiba
semua berpaling ke arah adikku yang sedang tertawa geli,
"Gimana Mbu mau makan jagung bakar, kan giginya Mbu ompong!"
seru adikku.
Akhirnya kami semua tertawa menyadari hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar