Terdengar suara Teh Lina kakak ketiganya mengetuk pintu kamarku diiringi kumandang Adzan subuh. Kupaksakan beranjak dari pembaringan terasa lelah tubuh dan pikiran dalam menyiapkan janji suci ini.
Suara Teh Lina terdengar lagi memanggilku,
"Ya Teh, ini baru mo sholat" ujarku sambil membuka pintu kamar.
Sudah sejak kemarin rumah ini ramai oleh kehadiran keluargaku, mereka semua menemani dan menenangkan jiwa ini dalam menghadapi peristiwa bersejarah dalam hidupku.
Tinggal dua hari lagi pernikahanku dengan Marsel akan terlaksana dan rencana hari ini akan ada tukang yang akan menghias istana kecilku, terutama kamar ini yang sudah di ganti interiornya dengan cat warna gading dan perabotan jati warna coklat muda sesuai perintah sang pangeran. Masih teringat pesannya saat itu,
"Denger ya, gue ga mau temboknya warna pink ato biru terus rame sama kembang kaya kawinannya si Tris emangnye taman bermain, pake seperlunya."
Disadari atau tidak kita berdua memang tidak terlalu suka dengan desain yang terlalu banyak ornamen kesannya jadi tidak ekslusif.
Suara Teh Lina terdengar nyaring sedang memberikan instruksi kepada keluarga yang sedang berkumpul untuk sarapan dan membereskan perlengkapannya masing-masing karena rumah ini mau dihias.
"Terus kita pindah kemana?" tanya keponakan-keponakanku.
"Ke rumah masing-masing, biar rumah tante ga berantakan" ujarnya lagi.
Aku tersenyum bahagia dan juga bersedih melihat kebersamaan keluargaku. Bahagia karena kita bisa saling mengasihi dan sedih jika teringat kedua orangtuaku yang kini sudah tiada. Ketiga kakak serta adikku menikah didampingi kedua orangtua sedangkan aku...tidak terasa air bening ini mengalir lagi.
"Tang, kenapa lagi?" tanya Teh Lina sambil merangkulku.
"Bintang kangen sama ayah dan ibu" kataku tak kuasa menahan jatuhnya air mata ini.
Saudaraku yang lain hanya bisa terpaku melihatnya.
"Sabar ya, Tang" suara Teh Lina parau seakan tak sanggup untuk berkata-kata lagi.
Sejak kecil kita berdua memang dekat mungkin karena usia yang terpaut setahun jadi seperti kembar. Tak lama Teh Rima kakak keduanya bergabung, mereka bertiga berpelukan sambil menangis. Tiga wanita ini memiliki watak yang berbeda tetapi bisa saling melengkapi.
"Doain aja biar ayah dan ibu tenang disana, yang penting coba untuk menata hati kamu biar tenang juga karena mereka merasa bahagia lihat kamu sekarang" kata-kata Teh Rima menenangkanku.
Kucoba menenangkan diri dengan tafakur di sudut kamar tamu karena kamarku sedang di hias. Kupercayakan semua penataan rumah ini kepada desain interior andalanku Teh Rima. Walau belajar secara otodidak tetapi dialah yang mewarisi kemampuan urusan tata menata seperti ayah.
Berkat tangan dingin Teh Rima kamarku sudah selesai dihias, dominasi warna gading untuk bed cover dan seprei serta diselingi coklat muda untuk gordennya. Hanya ada tiga vas bunga diantaranya berada di meja rias, diatas kepala ranjangku dan didalam kamar mandi. Semuanya akan diisi rangkaian bunga sedap malam dan daun pandan yang dijalin untaian melati.
Menjelang sore kamarku sudah selesai dihias dan rumah mungil ini seperti tahu akan ada imam yang akan menopang keutuhan diriku. Hamparan permadani untuk acara pengajian besok membuat rumah ini terasa luas. Wangi semerbak bunga melati seakan menjadi terapi untuk menurunkan kegelisahanku.
Malam ini aku tidur dikamar tamu ditemani Teh Rima dan Teh Lina sedang Aa Rudy dan Teh Mimi tidur di depan ruang tivi.
"Tang, aa sama teteh tidur di sini ya" ujar A' Rudy menggoda sambil membuka pintu kamarku.
"Ehh, itu kamar penganten ga boleh...pamali tau!" seru Teh Lina tertawa.
"Heh udah malam, ayo tidur!" seru Teh Rima sambil melempar bantal ke arah A'Rudy.
Mereka bercanda seperti saat kecil dulu, Bintang hanya tertawa melihat ketiga kakaknya saling lempar bantal.
Terdengar suara Teh Mimi memanggil suaminya untuk tidur,
"Tuh dah di suruh tidur sama yayang" goda Teh Lina yang disambut tawa keduanya.
Jelas sekali mataku tidak bisa terpejam menanyakan satu janji yang belum kutunaikan sampai saat ini.
Lantunan ayat-ayat suci mengiringi acara pengajian pagi ini memohon kelancaran untuk acara sakral besok. Air mata tidak henti-hentinya menetes apalagi di saat memohon doa restu kepada keluarga besar. Abaya serta jilbab warna peach menambah cantik dan anggun dirinya.
Selesai acara pengajian Bintang menanyakan telepon genggamnya kepada Teh Lina yang sudah dua hari di tahan, namun dengan tegas tidak diberikannya dengan alasan biar fokus. Sempat terlihat kecewa di wajahnya namun dia berusaha untuk memikirkan cara lain.
Seperti malam-malam sebelumnya mata ini sukar sekali untuk terpejam bukan karena akan menghadapi hari esok yang paling bersejarah tapi karena ada sebuah janji yang sampai saat ini masih ragu untuk dilakukan.
Detik-detik sakral itu sudah didepan mata, ketika penghulu meminta untuk menghadirkan mempelai wanita. Jantungku makin tidak menentu, pintu ruang rias di ketuk oleh Teh Rima. Saat pintu terbuka tampak wajah terkejut terlihat jelas di kedua kakakku.
"Tang!" ujar keduanya bersamaan.
Aku hanya tersenyum. Diapit kedua kakaknya Bintang memasuki masjid tempat dilaksanakannya akad nikah ini.
Semua mata memandang takjub kepada sang mempelai wanita yang tampil cantik dengan kebaya panjang warna putih tulang serta hijab warna senada di lapisi warna emas menambah cerah wajahnya. Tidak ada lagi gadis tomboi berkaca mata dengan rambut diikat satu. Yang ada hanyalah gadis cantik dengan hijab menutupi rambut indahnya. Tanpa kacamata yang menghalangi jelas terlihat mata indahnya.
Dialah Bintang Sauqya Nissa yang sekarang resmi menjadi nyonya Marsel Pradana.
Selesai acara pernikahan ini Marsel bertanya kepada istrinya,
"Kamu beneran pake hijab"
" Ya aku ingin menepati janjiku kepada ayah" jawab bintang tenang.
"Berarti aku ga berarti dong" ujarnya sambil merangkul istri tercintanya.
"Sepertinya kurang tepat justru kamulah hijabku sayang, suamiku adalah hijab yang sesungguh yang menutupi aurat dan aib istrinya" ujar Bintang membalas rangkulan Marsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar