Minggu, 30 April 2017

PUSING 2

   Suasana hatiku masih tidak menentu karena memikirkan Bintang yang belum mengalami kontraksi.  Tepat jam tujuh Mba Mey dan rombongan datang membawakan baju pesananku sekaligus bubur ayam untuk sarapan kita berdua. Mama yang masih setia menemaniku sejak dini hari tadi menolak untuk sarapan.  Terlihat ketegangan di wajahnya dengan gerakan bibir yang tidak henti berdoa semoga keselamatan dan kebahagiaan menjadi milik keluarganya.

   Kecemasan dan harapan saling berlomba mempengaruhi Marsel, menanti memang pekerjaan yang paling membosankan.  Andaikan bisa ingin rasanya Marsel mengeluarkan junior dari perut Bintang sekarang juga, agar rasa panik ini bisa usai.

   Marsel kembali menemani istrinya yang mulai terlihat gelisah.  Keringat mulai mengalir dari wajah Bintang padahal yang dirasakan Marsel justru sebaliknya...lantai ini sudah seperti es.
Kucoba membuat Bintang tenang dengan mengajaknya bicara dan berdoa serta memberi semangat akan kehadiran junior ditengah kita.

   Jarum panjang dan pendek sudah bersamaan  diangka sembilan sesuai kesepakatan apabila sampai pukul sembilan belum juga ada perkembangan maka  sectio akan dilakukan.  Suster memeriksa Bintang yang sudah mengalami pembukaan lima tetapi belum juga ada tanda sang bayi akan keluar. Kegelisahan Bintang akibat mules yang semakin menjadi membuat Marsel jadi ikut-ikutan sakit perut.  Seorang suster mengingatkan Marsel untuk mengurus administrasi guna persiapan operasi.
"Sabar ya Bive, aku urus admin dulu...kamu ibu yang kuat" ujar Marsel sambil mencium kening istrinya.
  
    Persiapan sudah dilakukan Marsel ikut  menemani sang istri menyambut kehadiran cinta kasih mereka.   Walaupun agak takut melihat ruangan operasi tetapi karena kondisi istrinyalah yang membuat Marsel jadi tegar. Tidak sampai satu jam tepat pukul 10.10 sang junior lahir kedunia yang dengan suara tangisan yang lantang.
"Allahu Akbar...Bive, junior sudah lahir!" seru Marsel terharu sambil berulang-ulang mencium Bintang.

Setelah dibersihkan, junior langsung ditaruh diatas pelukan Bintang...spontan sang jagoan mencari bau susu dan langsung menghisap asi.

"Alhamdulillah, anak bunda pintar" ujar Bintang sambil berurai air mata.

Suara pujian dan tawa mengiringi kelahiran junior.  Dokter menyuruh Marsel keluar ruang operasi karena masing-masing punya tugas yang harus diselesaikan. Tugas pertama Marsel sebagai bapak adalah mendengarkan kalimat tauhid ke telinga sang putra.

    Kebahagiaan sedang menyelimuti keluarga Bintang dan Marsel, hilang sudah pusing yang mendera kepala Marsel sejak seminggu ini.  Hanya wajah sang juniorlah yang selalu hadir di pelupuk matanya.  "Welcome my boy" seru Marsel bangga.

Antara Ada Dan Tiada

   Hujan masih membasahi halaman rumah sakit Dharmais, Maria gadis tinggi semampai berkulit sawo matang sedang duduk manis di sudut kafetaria sambil menunggu kekasihnya yang sedang menyelesaikan koasnya.  Sambil menikmati secangkir coklat panas dan tuna kroisan, tiba-tiba matanya terpaku melihat seorang gadis kecil yang sibuk menyapa pengunjung dan membagikan permen.  Hatiku tertarik melihatnya begitu dermawan dan murah senyum, beberapa dokter yang disapanya selalu melakukan tos sambil mengajaknya bersenda gurau.
   
    Diantara rasa penasaran ini aku mengira jika gadis ini adalah anak salah satu direksi rumah sakit, sampai tak kusadari Herman yang sudah mengganti jas dokternya duduk menatapku lucu.
"Kenapa bengong?" tanya Maria.

"Harusnya aku yang tanya kamu lagi merhatiin anak itu yaa?" tanya Herman tersenyum manis.
Lalu Herman memanggil nama anak itu
"Cikom, sini deh ada yang mau kenalan" ujar Herman yang membuatku kaget.

Gadis itu berjalan semangat ke arah kita berdua. 
"Hai, nama saya Cikom nama tante siapa?" ujarnya sambil mengulurkan tangan.

"Maria, dari tadi main sendirian mamanya mana?" tanyaku penasaran.

"Mak di kampung jagain ade, di Jakarta saya dan Bunda Ecy tinggal di wisma Lampung dekat rumah sakit untuk berobat biar cepat sembuh" katanya tanpa terlihat sedih diwajahnya.

"Hebat banget! Cikom sakit apa sih" rasa penasaranku bertambah lagi.

Kemudian dia mengangkat ujung kaus warna biru serta memperlihatkan lubang kecil di perutnya  dan menjelaskan kalau dia habis operasi pembuatan saluran pembuangan pengganti anus. 
  
   Hatiku trenyuh melihat kondisi anak sekecil itu berjuang melawan penyakit yang belum ada jawabannya. Tiba-tiba tangan mungil itu menyentuh pipiku yang sudah basah dengan air mata. 

"Tante jangan nangis, doakan Cikom ya" pintanya dengan polos.

Lidahku kelu dan hanya bisa mengangguk melihat gadis itu berlalu sambil melambaikan tangan karena sudah dijemput oleh oleh Bunda Ecy yang tidak lain adalah istri salah satu pejabat yang berhati mulia.

   Dalam perjalanan pulang, Herman menceritakan bahwa gadis itu mengalami kelainan pada saluran pembuangannya sejak lahir, beruntungnya Allah kirimkan Bunda Ecy wanita mapan yang berhati lembut untuk menyelamatkan hidupnya. Cikom sudah dua kali operasi dan sekarang tinggal proses penyembuhannya.  Ibunya memang tidak ikut karena harus mengurus dua orang adiknya dan sang ayah yang juga sakit-sakitan.

   Melihat hal ini dadaku semakin sesak betapa luar biasa semangat hidup gadis kecil itu, demi kesembuhan dia rela berpisah dengan keluarganya. Sedangkan diriku, baru sedikit terkantuk kaki meja saja semua orang kena amarahnya. 

   Mengingat aku anak tunggal jadi semua perintahku adalah maklumat yang kudu mesti harus dipatuhi ibarat putri raja yang selalu di manja.  Beruntung Herman lelaki yang sabar dan mengayomi hingga watak kerasku bisa mencair dihadapannya.

   Herman mengingatkan bahwasanya aku sudah di depan rumah.  Kucoba mengeluarkan suara yang sejak tadi tersimpan, tetapi sangat berat.  Hanya terima kasih yang keluar dari mulutku, Herman sudah mengenalkan semua pelajaran kehidupan hingga tidak ada lagi kata antara ada dan tiada yang sering mengusikku.

Sabtu, 29 April 2017

PUSING

   Hujan rintik-rintik mulai turun dan perlahan tapi pasti gerimis  mulai membasahi Jakarta yang sudah seminggu panas terik.  Aroma tanah sehabis hujan memang menyegarkan membuat pikiranku yang semenjak kemarin tegang kini mulai mengendur ditambah lagi dengan pijitan dari tangan kekar Marsel suami tercinta.   Kehamilanku memasuki usia delapan bulan kurang lebih tinggal sebulan lagi junior yang di nanti akan hadir. 
  
   Tubuh ini mulai cepat merasa lelah ditambah lagi gerakan junior yang kuat dan gesit sibuk berputar kesana kemari.  Malam ini tidurku terasa nyenyak entah karena faktor cuaca yang sejuk habis disiram hujan atau karena pijitan Marsel.
Jam diatas nakas menunjukan pukul dua dini hari kulihat ke sisi kiri Marsel tertidur nyenyak seperti bayi.  Rasanya kandung kemih ini sudah penuh dan ingin segera keluar,  kaki ini kupercepat langkahnya menuju kamar mandi.  Baru selangkah kaki kiri masuk kamar mandi tiba-tiba
"teess" seperti bunyi balon berisi air meletus.  Begitu banyak cairan berlendir seperti air seni keluar dan tidak bisa di bendung.  Berkali-kali kupanggil Marsel namun tidak bereaksi, kepanikan mulai melanda.  Karena panik dan kesal, Bintang mengarahkan sandal yang akan dipakai ke suaminya yang tertidur pulas.  Tersentak Marsel melihat istrinya yang sedang berdiri didepan kamar mandi sambil menangis.
Setengah sadar Marsel langsung memeluk istrinya dan menanyakan kondisinya.
"Kenapa basah semua Bive, kamu jatuh?" tanya Marsel panik sambil membopong istrinya ke sofa dekat pintu kamar mandi.

"Aku ga tau banyak cairan lengket, cepet panggilin mama" perintahnya untuk membangunkan ibu mertuanya.

Secepat kilat Marsel berlari ke arah kamar ibunya.  Beberapa kali pintu di ketuk akhirnya sang ibu keluar dari kamar dengan nada panik Marsel menarik tangan ibunya dan menceritakan kalau istrinya banyak mengeluarkan air.

"Bintang kenapa, Nak" sambil melihat kondisi menantunya.
Bintang hanya menggeleng, setelah melihat kondisi menantunya dia langsung menyuruh anaknya untuk ke rumah sakit karena air ketubannya sudah pecah.

   Dengan segala kepanikan yang coba ia tangani akhirnya sampai juga di ruang UGD.  Perawat menyuruhnya untuk menunggu dikeluar.  Sang ibu berusaha menenangkan putranya dengan tidak putus berdoa.  Setengah jam kemudian dokter yang menangani Bintangpun datang membawa kabar kalau istrinya mengalami ketuban kembar dan memberikan solusi jika sampai nanti siang belum mengalami kontraksi keputusannya harus dilakukan tindakan operasi  sesar.

"Lakukan yang terbaik untuk keselamatan istri dan anak saya, Dok" pinta Marsel dengan terbata-bata.
Marsel menemui ibunya dan menceritakan semuanya.  Dengan sabar sang ibu menyuruh untuk tetap mendampingi istrinya.  Kutinggalkan mama yang sibuk mengabari seluruh keluarga.
  
   Diantara kepusingan ini baru tersadar kalau Marsel ke rumah sakit amat sangat memalukan hanya memakai celana boxer dan kaus sobek dimana-mana...Ya Tuhaaan!!

  

Jumat, 28 April 2017

OPO IKU...

7   Pagi ini rumahku sudah mulai ramai dengan kehadiran sanak keluarga baik dari pihakku maupun dari pihak suamiku Marsel.   Rencana jam sepuluh pagi ini akan dilakukan upacara tujuh bulanan kehamilanku.  Acara ini lebih tepatnya untuk membahagiakan ibu mertuaku, karena bagi kami berdua hanya membuang uang percuma.  Tetapi demi bakti kepada orang tua semua ini dilakukan walaupun tidak ada salahnya mencoba.
  
   Menurut perhitungan adat Jawa tujuh adalah pitu  yang artinya pitulungan atau pertolongan. Karena pada usia kehamilan tujuh bulan diharapkan sang jabang bayi sudah berbentuk sempurna  jadi kalaupun pada usia ini diijinkan oleh Allah lahir maka bayinya akan sempurna tetapi bila melewati angka ganjil misal delapan bulan maka bayinya muda lagi.  Pitulungan atau pertolongan sangat diharapkan dari Tuhan Yang Maha Esa.

   Aku dan Marsel mencoba menikmati  setiap tahapan acara. Hingga acara pengambilan cengkir atau kelapa  bergambar wayang oleh Marsel sebagai seorang bapak untuk mengetahui jenis kelamin anak kami.  Pertama Marsel harus mengambil cengkir yang berada di dalam gentong penuh air tanpa melihat. Kemudian sang pemandu acara menyuruh membelahnya dengan menggunakan parang, apabila terbelah dua dengan sekali tebas dan rata maka diperkirakan bayinya perempuan jika sebaliknya maka dipastikan bayinya laki-laki.  Bak seorang mega bintang Marsel mulai bergaya,
"Masa insinyur ga bisa ngebelah kelapa" ujarnya dengan tawa mengembang.

Disambut tawa dan tepuk tangan malah sebaliknya terjadi Marsel tidak bisa membelah kelapa.  Yang pertama kelapanya menggelinding lalu diulang kedua kali ternyata parangnya tertancap tapi gagangnya patah.  Serempak mereka teriak "Lanaaang!"
Paes yang memandu acara ini mengatakan sepertinya anak yang ada di dalam kandunganku seorang laki-laki, karena tidak bisa ajeg atau diam terbukti cengkirnya lari terus.

   Kulirik wajah ibu mertuaku yang gembira saat calon cucunya laki-laki, padahal kita berdua sudah tahu jawabannya hasil USG seminggu yang lalu kalau sang junior adalah laki-laki. Satu demi satu acara selesai hingga puncaknya kita di haruskan dodol dawet atau jualan cendol. Aku dan Marsel berjualan cendol dengan memakai kebaya dan beskap, pembelinya adalah tamu-tamu yang datang transaksi menggunakan uang dari lempengan bata atau kepeng.

   Akhirnya selesai sudah acara yang melelahkan ini. Saat tamu-tamu akan  berpamitan mereka menanyakan kemana Marsel. 
"Liat deh keren kan!" teriak Marsel sambil memegang cengkir denga hasil foto USG melekat dibadan cengkir.

Spontan ibu mertuaku teriak kesal dengan perilaku anaknya.
"Opo iku, Mas!"

Marsel hanya tertawa yang disambut ucapan hebat dari semua yang hadir.

Kamis, 27 April 2017

TUNGGU AKU...

   Jalan tengah yang harus kupilih dan jalani memang sangat unik.  Berjalan diantara dua orang yang kusayang dan belum genap setahun memasuki kehidupanku. Disaat sendiri aku berada di alam nyata dengan jati diri yang sudah hapal dari lahir.  Begitu sebaliknya disaat suami dan ibu mertuaku hadir, alam maya seakan menyelimutiku dengan berbagai fenomenanya.  Selalu ada kejutan-kejutan disana-sini.  Inilah hidupku sekarang...

"Bintaaang, dimana?" suara Bu Melia mertuaku membuyarkan lamunanku.

"Sini mam di belakang" teriakku yang sedang menikmati suasana sore di taman mungil belakang rumah.

"Lagi apa, besok jadikan kita nyari souvenir ke Tenabang?" tanya mertuaku bersemangat sambil memegang notes.

"In sya Allah jadi mam, cuma kayanya ke Thamcit aja deh ga jadi ke Tenabang karena Mas ga setuju" jelasku kepada Bu Melia.

"Eeh sudah di bilang jangan ngomong sama Marsel...pasti ga bolehlah! Ini urusan perempuan!" sungut mertuaku.

"Mam, Bintangkan lagi hamil kalo ga bilang sama mas nanti dia marah-marah anaknya dibawa" bujukku dengan nada manja.

Bisa dibayangkan dalam keadaan perut yang mulai membesar harus keluar masuk pasar tanah abang yang penuh sesak hanya untuk mencari cinderamata acara tujuh bulanan.  Padahal acara tasyakuran empat bulan kemarin Marsel meminta tolong Teh Rima kakakku untuk mengurusnya, apalagi sekarang bisa tambah murka dia.

   Karena kasian, kubujuk Marsel untuk meluluskan permintaan ibu mertuaku yang ingin menunjukkan  kepada keluarga besar almarhum suaminya bahwa dia mampu melanjutkan gelar Raden Mas.  Walau rada alot akhirnya suamiku menyetujui dengan syarat tanpa hal berbau klenik.  Sejak ijin dikeluarkan oleh Marsel, Bu Melia sibuk menghubungi paes yang menangani acara nujuh bulanan.  Walau lelah tapi sinar bahagia menggantung di wajahnya.
  
   Setelah Marsel melepas lelahnya karena bekerja seharian mengurus berbagai urusan proyeknya.  Kuutarakan tentang ajakan mama ke pasar tanah abang, belum selesai kalimat ini keluar dari mulut tiba-tiba Marsel langsung memotong,
"Ga! Kamu lagi hamil dan saya ga mau ada apa-apa kalo sampai mama maksa lagi batalin aja semuanya" suara Marsel terdengar tegas.

   Apalagi yang harus kukatakan pada Ibu Melia.  Marsel orang yang tegas sekali berurusan dengan keselamatan junior apapun akan dilawannya siapapun itu.

   Subuh ini Marsel tidak shalat berjamaah di mushola seperti biasa alasannya lagi kurang enak badan, dia hanya minta aku menemaninya.  Sinar matahari masuk melalui sela-sela jendela, baru saja aku akan menyibakan gorden Marsel melarangnya.
"Jangan dibuka, biarin aja ku mo istirahat"
Aku kembali ke sisinya, terlihat wajah lelah dan lesu.

"Bentar yaa mo ambil sarapan dulu" kataku yang disambut dengan anggukan.

  Saat keluar kamar kulihat mama sudah duduk di meja makan.
"Mam, kayanya Bintang ga ikut ya nanti ditemani sama mba karena kemarin kecapean jadi mas pengen istirahat di rumah" ujarku memohon pengertiannya.

Dengan ragu-ragu mama menanyakan kondisi anak kesayangannya.
"Mas ga papakan...mama boleh masuk" pintanya sambil membuka pintu kamar kami.  Aku hanya senyum bercampur iba melihat ibu mertuaku.

Entah apa yang dibicarakannya ketika aku masuk membawa sarapan kesukaan suamiku kopi hitam, nasi goreng mentega dan telur setengah matang.
"Bangun Mas, tuh sarapannya sudah datang" bujuk mama.

"Disuapin sama aku apa mama ato mo makan sendiri" godaku ketika melihat mama mengelus kepalanya.

"Maunya sama junior" jawabnya menaruh kepalanya di pangkuanku sambil mencium perutku.
Mama hanya tersenyum melihat tingkahnya lalu mengambil sarapan dan menyuapi Marsel yang bak seorang raja.

Jujur saja melihat hal ini hatiku terharu, bisakah aku memberikan kebahagiaan untuk orang-orang yang kusayang.  Tunggu aku yaa...

Rabu, 26 April 2017

MAMAKU SAYANG

   Pagi ini saat kami berkumpul untuk sarapan pagi mama membuka pembicaraan dengan notes kecil ditangannya.  Entah apa yang ada dicatatannya karena sepintas kulihat daftar panjang dan angka-angka menghiasi kertas berwarna kuning gading itu.
"Bintang, nanti tolong cek ya ini sudah pas atau belum" ujar mama sambil menyodorkan notes dan pinsil kepadaku.

Marsel yang baru saja duduk di sebelahku   langsung komentar,
"Apaan sih"

"Itu urusan perempuan, laki-laki ga usah tau" tegas Bu Melia.

"Sekarang ato nanti juga ketauan" jawab Marsel lagi.

"Ini untuk acara tujuh bulanan" jawabku datar sambil menggeser notes itu ke arah Marsel.

"Mah-mah, baru juga masuk empat bulan malah Mas dan Bintang sepakat mo ngadain syukuran empat bulanan dengan pengajian dan undang anak yatim bukan hura-hura...mubazir" jelas suamiku Marsel panjang dan lebar.

Mama langsung terdiam sambil menahan napas,
"Mas tu kalo dibilangin suka seenaknya deh, ini juga untuk keselamatan si jabang bayi dan ibunya!" sengit mama tidak mau kalah.

Melihat suasana sudah mulai memanas reflek kusenggol kaki suamiku yang sedang menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
"Ekh, Biiive!" dengan wajah merah karena tersedak Marsel secepatnya mengambil teh hangat disebelahnya.

"Maaf Mahy...ga sengaja" ujarku menahan tawa.

"Tuh kan, kualat kalo ngelawan sama orang tua" omelnya.

"Mama jangan ngomong gitu dong...kasian kan Mas Marsel" bujukku.

Mama hanya tersenyum tipis, masih tergambar rasa kesal di wajahnya. Kucoba untuk menenangkan dan meyakinkan mama kalau catatannya akan diperiksa.

Marsel pamit padaku dan junior dengan cara mencium kening juga perutku, namun sang anak kesayangan hanya berlalu tanpa menghiraukan sang mama yang ingin perlakuan sama.
Ketika mama berdiri dari kursinya tiba-tiba
"Mas sayang mama" sambil memeluk  sang mama dari belakang yang disambut dengan tangisan tertahan.

Suasana pagi ini membuatku mempertanyakan kelak seperti inikah buah hatiku menyatakan kasih sayangnya.

Selasa, 25 April 2017

1: 1

   Sejak keputusanku untuk membawa Bu Melia tinggal bersama kami suasana agak sedikit berbeda.  Awalnya Marsel kurang setuju dan mencoba meyakinkan jika keputusanku sudah tepat, mertuaku terkenal dengan segala aturannya yang terkadang bikin bingung sedangkan anak kandungnya sendiri saja tidak kerasan terbukti Icha adik iparnya lebih memilih kos dibanding serumah dengan mama.

   Harapanku disaat menjalani kehamilan ini ada seseorang yang berpengalaman dan bisa menjaga emosiku.  Pasti ada solusi yang baik untukku dan Marsel, tidak mungkin Bu Melia mengacuhkan calon dinasti yang selama ini  diharapkan.  Menurut ceritanya almarhum bapak mertuaku amat sangat menginginkan keturunan laki-laki untuk melanjutkan nama besar Raden Mas Hadiprana.  Walau ku tahu Marsel amat membenci gelar tersebut yang dianggapnya sebagai jajahan terselubung.  Suamiku jarang bahkan tidak pernah mencantumkan gelar Raden Mas diawal namanya.  Dia lebih memilih nama Marsel tanpa embel-embel baik di depan atau belakang namanya.  Gelar kesarjanaannya saja malas di cantumkan apalagi yang lain, jawabannya singkat jika ditanya tentang hal ini.
"Kalo masih nyantumin gelar itu ketahuan ilmunya seberapa, belajar tuh seumur hidup."

Cara belajar Marsel memang unik dari pertama kenal di SMA sampai kita kuliah walau beda jurusan, dia ga pernah mencatat hobinya fotokopi itupun menjelang ujian selebihnya lebih senang praktek terjun langsung ke lapangan.

   Rencana sore ini Marsel dan mama akan ikut mengantar periksa kehamilanku ke dokter kandungan di rumah sakit terdekat. 
"Nyonya Bintang Marsel" suara suster memanggilku untuk masuk ke ruangan dokter Shinta. 
Aku memilih dokter perempuan untuk kenyamanan. Saat aku melangkah memasuki ruangan periksa kulihat mama sudah duduk manis berdiskusi dengan sang dokter.  Dengan santai mama menyuruhku duduk disebelahnya.  Marsel hanya tersenyum melihat gaya ibunya. Hatiku mulai curiga melihat tingkah keduanya, entah apa yang sedang di rencanakan.  Dokter menyuruhku untuk berbaring dan membolehkan suami dan ibu mertua melihat layar ultrasonografi atau USG tampak di layar empat dimensi calon bayi yang kini berusia empat bulan sudah mulai bergerak.  Bisa dibayang reaksi suami dan mertuaku yang heboh melihat calon keturunannya sedang menghisap ibu jari.
"Saya bisa memahami hal ini " senang yaa bu" ujar dokter kepada Bu Melia.

"Ya senanglah lucu banget, Dok" ujarnya.

Saat menunggu pengambilan obat, tergelitik hatiku ingin mengetahui bagaimana bisa sudah ada di ruang dokter sedangkan menantunya belum dipanggil. 
"Gampang, mama kan duduk dekat suster jaga bisa liat urutan nama terus sebelum Bintang di panggil mama sudah masuk" jelasnya bangga.

"Tapikan masih ada pasien sebelumnya?" tanyaku.

"Mama bilang ke dokter, maaf ya dikira anak saya sudah masuk" ujar mama terlihat lucu.

"Memang mama ga disuruh keluar?" tanyaku lagi.

"Ya gak lah, pasien itu lagi ngeluh gimana caranya menghilangkan rasa mual padahal sudah minum obat anti mual terus mama kasih saran untuk bangun pagi sebelum matahari terbit dan menghirup udara segar" urainya panjang lebar.

Aku cuma bisa mengangguk dan tertawa dalam hati, akankah anakku nanti seperti neneknya kreatif menghadapi masalah.

   Marsel mengajak makan malam di resto sehat yang tidak jauh dari rumah sakit.  Dengan asupan yang sehat untuk  anaknya dia berharap anaknya akan tumbuh sehat.
  
   Suamiku begitu antusias memesan menu sehat untuk kami berdua. Bu Melia melirik ke arah Marsel, dengan senyum sinis.
Pesanan fetucini dengan jamur champignon dan brokoli sudah tersaji di hadapanku.
"Ini bagus untuk perkembangan otak juniorku biar pinter kaya bapaknya" jelas Marsel sambil mengelus perutku.

"Emangnya tau?" tanyaku dengan senyum tertahan.

Beberapa kali mama berdehem sambil memasukan salad ke dalam mulutnya.  Merasa ada yang janggal dengan mama untuk itu kucoba membujuknya,
"Ma, ko cuma makan salad aja nanti ga kenyang"

"Kalo sudah tua harus banyak makan sayur dan buah, kecuali bumil kaya kamu harus banyak apa saja yang penting sehat" ujarnya ketus sambil melirik Marsel.

Aku sudah tahu jawaban kejanggalan ini sepertinya mama marah dengan Marsel tetapi masalahnya apa, itu yang masih kucari tahu.
  
   Mama merasa tenang ketika kutemani sampai ke kamar tidur.
Tetapi aku belum menemukan masalah yang sesungguhnya sampai kulihat Marsel yang sedang rebahan menonton tivi.
"Mahy, sini deh" ajakku sambil menepuk  bantal sofa di sebelahku.

"Kenapa Bive, serius banget" ujarnya berpindah rebahan di sofa dengan menaruh kepalanya dipangkuanku.

"Hari ini ngeliat mama aneh deh..merhatiin ga?" tanyaku.
Tiba-tiba Marsel tertawa keras sampai juniornya ikutan bergerak.
"Mama itu kalah taruhan" terperanjat mendengar jawaban Marsel.
Menurutnya kalau mual pada wanita hamil itu karena perasaannya bukan karena pengaruh bayi buktinya setiap wanita bahagia dia tidak merasa mual.

Ya Allah, ternyata untuk urusan perhatian kepadaku saja mereka bersaing.
"Berarti skorku 1:1" ujarnya senang.

PILIH AKU ATAU DIA II

   Entah bagaimana ceritanya belum genap seminggu kepergiannya ke Medan, Marsel suaminya sudah hadir dengan wajah kelelahan berdiri dihadapanku.  Aku mencoba bersikap sewajar mungkin dengan mencium tangannya seperti kebiasaanku jika dia datang dari bepergian, menyediakan minuman kesukaannya es teh lemon dengan madu.  
   Sekedar berbasa-basi untuk mencairkan suasana aku mencoba menemaninya.  Ibu Melia keluar dari dapur dengan sepinggan pisang goreng ditangannya. 
"Cape yaa Mas?" tanya ibu mertuaku kepada anak kesayangannya.

"Biasa aja, kalo mo jadi kepala keluarga yang baik harus bertanggung jawab kepada orangtua, istri, anak juga semuanya" ujar Marsel sambil mengelus perutku yang masih datar.

Entah siapa yang bermain sandiwara atau sandiwara ini untuk siapa.  Bintang lebih banyak diam kepalanya semakin pusing entah apa penyebabnya.  Marsel memperhatikan istrinya yang sejak tadi terlihat diam,
"Bive, ada apa... junior ga bikin ulahkan?" tanya suaminya penuh selidik.

"Ga, dia anak baik ko" jawabku asal.

"Sapa dulu dong bapaknya" jawab Marsel bangga.

Melihat gayanya bikin hati ini tambah sakit.  Tiba-tiba Tiwi asisten rumah tanggaku menghampiri,
"Bu pulang dulu...terus besok saya ijin yaa mo anter anak ke puskesmas nambal giginya banyak yang bolong" ujarnya singkat padat tanpa jeda.

"Oke, dah beres semua kan?" tanyaku lagi.
Marsel mengambil dompet dari saku celananya dan menyuruhku untuk memberi tiga lembar lima puluhan kepada Tiwi.
Jelas terlihat raut sumringah dari wajahnya, dengan terbungkuk-bungkuk dia pamit pada kami bertiga sambil membawa makanan yang biasa kubagi setiap selesai membantuku memasak dan uang pemberian Marsel.
  
   Makanan sudah tertata rapi diatas meja aku menawarkan Marsel mau makan atau mandi dulu, suamiku ingin mandi dulu biar segar.  Kusiapkan baju ganti dan handuknya.  Sementara Marsel mandi kupisahkan pakaian kotor dari dalam kopernya lalu kubawa ke tempat mesin cuci. Sengaja pakaian ini kurendam sekarang karena besok Tiwi absen.

   Dengan segala keyakinan yang ada kucoba mengembalikan kepercayaan diri untuk mandiri dalam segala hal.  Aku berpapasan dengan ibu mertuaku di dapur saat selesai dari tempat cuci.
"Tang, besok mama mau pulang ya Marselkan sudah datang" ujar Bu Melia dengan suara tersendat.
Bintang meyakinkan ibu mertuanya kalau yang didengarnya adalah benar. 

"Kenapa mama ga tinggal disini bersama kita" ungkap Bintang tulus.

"Mama ga mau merepotkan, melihat kamu mengurus Marsel aja itu sudah bikin senang" suara mama kian merendah.

"Mama marah sama Bintang yaa?" tanya Bintang lagi.

"Justru mama mau tanya sama Bintang sekalian minta maaf kalo suka ikut campur" ujar mama polos.

Hatiku mulai bimbang sejahat itukah diriku kepada wanita berusia enam puluh lima tahun ini, yang mencoba melindungi buah hati dan keturunannya yang ada didalam rahimku. Apakah hal yang sama akan kulakukan jika anakku sudah berumah tangga.  Tegakah aku bersikap kasar kepada nenek dan ayah dari janinku. Aku berusaha menguasai diri agar tidak terlihat konyol di depan mereka.
"Maafkan Bintang yaa, temani kita disini" ujar Bintang dengan menempelkan tangan ibu mertuanya ke dekat perutnya.

Keduanya tidak menyadari jika Marsel sedang memperhatikan keduanya.
"Ini acara dramanya mo sampai jam berapa...aku laperr Bive!" ujar Marsel dengan gayanya yang bikin kesal.

"Yaa cerewet" jawabku berpura-pura marah.
Bu Melia tersenyum melihat tingkah anak dan menantunya.  Menyadari situasi ini rasanya aku tidak tega memberikan pilihan kepada Marsel, orang yang sama-sama aku dan mertua sayang.




Minggu, 23 April 2017

PILIH AKU ATAU DIA

  Sejak pagi aku menyiapkan keperluan baju Marsel yang akan bertugas ke Medan selama seminggu, dari perlengkapan mandi sampai perlengkapan pribadi sudah rapi tertata di dalam koper. Rencana selama Marsel tidak ada Bu Melialah yang akan menjagaku, untuk urusan penjagaanku saja butuh waktu lama terkesan alot.  Suamiku ingin selama tidak ada dirinya ada yang bisa dipercaya untuk menjaga istri dan calon anaknya. 
  
   Awalnya aku memilih sendiri tapi karena tidak ingin membuat Marsel cemas akhirnya pilihan jatuh pada sepupuku Wati dengan alasan dia baru menikah, tinggalnya satu komplek denganku dan keduanya bisa menyetir mobil.  Seperti biasa ibu mertuaku mulai mengajukan banding dari belum berpengalaman sampai yang punya hak asuh adalah dirinya.  Keputusan terakhir adalah  merelakan ibu mertuaku yang menemani selama seminggu ini.

   Kami tidur terpisah aku di kamarku dan ibu mertuaku di kamar tamu.  Malam pertama Bu Melia menemaniku di rumah aku merasa nyaman karena ada yang melindungi, teringat akan kebiasaan ibu yang selalu membelai wajahku serta mengingatkan untuk selalu berdoa dan sebelum keluar kamar tidak lupa untuk mematikan lampu sambil mengucapkan assalamualaikum.  Itu tetap dilakukan sampai terakhir dua hari menjelang kepergian ibu keharibaan-Nya.  Ada rasa rindu dengan saat-saat seperti itu.

   Dua hari sudah hidupku di manja dengan kasih sayang dan perhatian sehingga wajah pucatku lambat laun mulai berubah.  Sajian makanan dan minuman sehat serta vitamin penunjang untuk tumbuh kembang janinku tidak luput dari perhatiannya.  Pagi ini setelah shalat subuh seperti sebelumnya Ibu Melia mengajak Bintang untuk jalan pagi mengelilingi taman di depan rumah.  Menghirup udara segar membuat oksigen yang masuk ke dalam tubuh hingga ke otak dapat berjalan lancar.  Sehingga menurut pengalamanmya para ibu hamil alias bumil tidak merasakan morning sick atau mual setiap pagi.  Disamping itu mendidik ibu dan sang janin untuk tidak malas.
  
   Kebiasaan Marsel menelponku bila sedang pergi jauh seperti minum obat sehari bisa tiga atau empat kali, apalagi saat ini ketika sudah berbadan dua tidak pernah absen menanyakan kabar juniornya.  Hari ini sudah masuk hari ketiga sedari tadi aku belum mendengar suaranya melalui telepon genggamku.

   Saat makan siang  tidak ada juga tanda-tanda kehidupan dari hp-ku. Kucoba untuk mengirim pesan melalui WA dan jawabannya sama...nihil!  Aku mulai kuatir dengan kebiasaan ini, hp-nya tidak aktif.  Mulai ku tepis kejadian ini dengan doa dan tafakur.  Malam hampir tiba belum hadir juga suara emas itu yang membuat ku gelisah.  Lelah dalam penantian akhirnya aku tertidur. 
  
   Jam menunjukan pukul tiga dini hari saat terbangun ku melihat ibu mertua sudah tertidur pulas di sebelahku. Dengan kekuatan yang ada aku bangkit dan  berdiri menuju kamar mandi belum lima langkah kaki menjauh dari ranjang Ibu Melia memanggilku,

"Tang, mo kemana?"

"Ke kamar mandi mam" jawabku datar sambil menoleh ke arahnya.

"Hati-hati ya" ujarnya lagi yang dibalas dengan anggukan.

Saat kembali ke ranjang Bu Melia mengelus punggungku,
"Kamu gelisah terus makanya mama pindah tidur disini" jelasnya tanpa kuminta.

"Mas kemana ya mam, ko ga ada kabar beritanya" tanyaku lesu.

"Mas semalam sempat telpon tapi Bintang sudah tidur pulas terus suaranya juga pedot-pedot" jelas Bu Melia menerangkan suaranya putus-putus dalam bahasa Jawa.

Walaupun kesal tetapi aku bahagia mendengarnya.
"Sekarang Mas ada dimana terus besok mo telpon lagi?" tanyaku penasaran.

"Ya Masmu mo telpon lagi tapi agak siangan karena sinyalnya lagi ga bagus" jawabnya menyembunyikan sesuatu.

Dengan hati yang masih bimbang Bu Melia menyuruh Bintang untuk tidur lagi.

   Janji Marsel yang akan menelpon lagi membuat Bintang seperti anak remaja yang sedang kasmaran menanti telepon sang kekasih.  Suara Bu Melia menyuruh makan siang tidak di hiraukan, dia melamun sambil merebahkan tubuhnya.

Pintu kamar dibuka lalu munculah Bu Melia dengan tegas mengajak Bintang untuk makan siang,
"Ayo makan dulu di bawa aja hp-nya".
katanya sambil menuntun menantunya ke meja makan.

Hatinya yang sedang gelisah karena suaminya belum telpon juga di tambah lagi penampilannya yang berantakan. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, daster kusut yang dipakainya sudah dari kemarin belum diganti.
Beberapa kali ibu mertuanya menegur untuk menghabiskankan makan siang kesukaannya yaitu sop kacang merah dengan iga ditemani tempe goreng dan sambel tomat. Biasanya untuk sambel Bintang rajanya tetapi sejak hamil dia mulai mengerem kebiasaan buruknya ditambah lagi ada suster penjaga yang kelewat disiplin.  Tak kurang dari asisten rumah tanggaku merasa kesal karena semua pekerjaannya dianggap salah.  Aku tidak mau ambil pusing dengan urusan menu dan urusan rumah tangga karena memikirkan Marsel dan mual perut ini juga bikin pusing.
   
   Sudah hampir sepuluh menit makanan yang masuk ke mulutnya baru tiga suap.  Terdengar suara getar yang sangat kencang, aku berusaha mencari asal suara itu.  Sampai-sampai ibu mertuaku menegurku karena sibuk kepalaku berputar mencari sesuatu.  Aku menyuruh Tiwi asisten rumah tangga untuk nencari tahu.  Akhirnya mata Tiwi tertuju melihat kain penutup kulkas bergetar...
"Ini Bu! Hp siapa yaa" ujar Tiwi merogoh kantung penutup kulkas.

Sambil menyerahkan telepon genggam itu kepadaku Tiwi berteriak yang membuat aku dan Bu Melia terkejut.
"Bapaak,..Bu! Ini ada gambarnya."

Cepat ku jawab teleponnya dengan wajah Marsel dilayar hp yang sedang tersenyum cerah.
"Mahy pa kabar?" tanyaku kegirangan.

"Alhamdulillah, gimana kabarnya sayang my baby ga nakalan kan" suara Marsel terdengar kaget karena tidak mengira yang mengangkat telepon adalah istrinya.

Marsel bercerita kalau proyeknya di Medan berhasil semua ini diluar perkiraan mungkin ini rejeki si bayi ujarnya menutup pembicaraan.

Bintang langsung menghabiskan makan siangnya.  Tanpa menoleh ke arah ibu Melia yang sejak tadi memperhatikan tingkahnya, Bintang menyuruh Tiwi mengambil vitamin di kamarnya.
Tiba-tiba suara Bu Melia memecah keheningan,
"Bintang, maaf yaa itu hp mama yang baru dibelikan Masmu" jawabnya lirih.
Tanpa diminta Bu Melia menceritakan kalau hp yang lama terjatuh dan Marsel menggantinya dengan model keluaran terbaru.  Untuk memudahkannya maka oleh Icha adik iparnya diatur tidak menggunakan nomor tetapi foto yang bersangkutan. Dua hari lalu setelah terima telpon dari Marsel dia lupa menaruhnya dimana.

"Ya sudahlah mam ga pa pa, ini sudah diganti pake yang ada suaranya"  ujar Bintang bijaksana sambil menyerahkan benda tersebut.

"Makasih yang Tang" senyum tersungging di wajahnya sambil membelai wajah cabi milik Bintang.

  Bintang menyampaikan kabar baik ini kepada Bu Melia, bisa di bayangkan betapa senangnya sampai terlontar
"Untung kemarin dia nurut disuruh serius sama kerjaan jadi ga usah mikirin istrinya". 
Tanpa diberi perintah dua kali sang ibu mertua menceritakan dengan bangga jika anaknya lebih patuh kepadanya dibanding kepada istrinya. 
"Kalo mau tanya kondisi Bintang harus bilang dulu sama mama biar nanti diatur" cerita Bu Melia jumawa.

"Bruuk!" suara hentakan kasar kursi yang didorong Bintang menghentikan cerita Bu Melia.
Seakan ketahuan semua kebohongannya Bu Melia seakan diam membisu tidak tahu harus berbuat apa.

Bintang langsung masuk kamar dan menguncinya, sia-sia selama ini dia bertahan dan mengalah dengan keinginan ibu mertuanya semua dilakukan demi Marsel suaminya.  Tetapi setelah tahu kejadian yang sebenarnya Bintang  menahan kekesalannya dengan menangis. Di rumahnya yang dia beli dengan uang  sendiri suami dan mertuanya berani membohongi dirinya apalagi kalau aku tinggal rumahnya habislah harga diriku di injak-injak.  Terdengar pintu diketuk berkali-kali suara Bu Melia juga memanggil-manggil memohon untuk dibukakan pintu.

  Aku hanya terdiam...diam dalam kegamangan hati.

  

Sabtu, 22 April 2017

CINTAKU TERBELAH TIGA

   Dahulu diriku selalu beranggapan kalau cinta adalah cerita cinta namun tiada abadi.  Entah berakhir dengan kematian atau perpisahan, hanya satu per seribu yang bisa bersama sampai maut menjemput.  Inilah yang terjadi pada sahabat baikku Dewi, kecelakaan yang menimpa suami dan dirinya saat pulang dari menengok ibu mertuanya di Solo.  Kabar duka cita ini kuterima dari grup WA  teman-teman kantor.  Aku hanya bisa terpaku mendapat berita ini, tubuhku lunglai terbayang nasib kedua anaknya yang masih kecil.  Tidak terasa pipiku sudah basah oleh bulir-bulir air mata.

    Suamiku yang baru kembali dari menunaikan shalat magrib di masjid semakin bertambah bingung melihat kondisiku yang seminggu terakhir menjadi semakin labil.

"Bive, kenapa?" tanyanya heran.

"Dewi, Mahy..." tangisnya pecah.

Marsel langsung memeluk erat istrinya sambil mencoba menenangkan.  Setelah hampir satu jam akhirnya Bintang bisa menguasai diri.  Walaupun dengan terisak-isak perlahan tapi pasti Bintang mulai bercerita tentang berita kepergian Dewi untuk selamanya.

"Innalillahi wa innaillaihi rojiun, sekarang dimana?" tanya Marsel.

"Sekarang masih di rumah sakit, bentar lagi mo pulang kita harus ke rumahny sekarang!" tangis Bintang mulai reda.

"Oke sekarang kita siap-siap tapi Bive makan dulu yaa!" kata Marsel seperti membujuk keponakannya yang berusia lima tahun.
Walaupun awalnya Bintang menolak tetapi akhirnya dengan terpaksa menurut semua perintah suaminya. 
   
    Jakarta mulai memasuki musim penghujan,  bendera kuning dan genangan air mulai terlihat saat kami memasuki komplek Bintara.  Air mata Bintang mulai terasa membanjiri pipinya lagi. Suaminya berusaha menenangkan sambil terus memegang tangannya untuk mengalirkan kekuatan cintanya.

   Rencana besok pagi sahabat dan suaminya akan di makamkan bersebelahan dengan orang tua Dewi di TPU Karet Bivak.  Hatinya seperti teriris belati melihat kedua anak itu terpaku menatap jenazah kedua orang tuanya. 
Marselpun tak kuasa melihat kejadian ini, dalam hatinya berdoa semoga tidak terjadi pada dirinya dan Bintang.

   Peristiwa kehilangan sahabatnya membuat Bintang jadi lebih sensitif.  Dengan ekstra sabar yang dimiliki, Marsel mendengarkan semua keluh kesah dan nostalgia antara dia dengan Dewi disertai air mata yang kian deras.

   Minggu ini Marsel membatalkan janji untuk menemani ibunya terapi gantinya dia menyuruh sang adik.  Sebelumnya dia sudah menceritakan kondisi Bintang, walaupun berat  akhirnya sang mama tercinta meluluskan permintaannya.
   Jarum jam di nakas sebelah ranjangku sudah menunjukan pukul empat sore karena lelah akhirnya tertidur pulas.  Terdengar samar suara Marsel berbicara dengan seorang wanita. Kuangkat tubuh ini mengarah ke sumber suara itu, saat kubuka pintu kamar,
"Bintang sudah sehat, Nak" tanya Bu Melia kepada menantunya.

"Masih pusing dan lemas mam" jawab Bintang parau.

"Mama anter ke dokter yaa sama Marsel juga" bujuknya.

Walau ragu akhirnya Bintang mau juga untuk cek kondisinya ke dokter di klinik dekat rumahnya.
Dokter menyuruh untuk cek lab.  Sejam kemudian hasil labnya keluar,  dokter membaca hasilnya.
"Selamat yaa pak istri anda positif hamil, anak keberapa?" tanya sang dokter melirik wajah Bintang yang pias. 

Penantiannya tidak sia-sia dia akan menjadi seorang bapak.
Dengan senyum bangga dia menyalami erat sang dokter.

Marsel tdak sabar ingin memberitahu ibunya yang sedang duduk di ruang tunggu.  Bu Melia melihat anak dan menantunya tersenyum menuju ke arahnya.  Bintang langsung duduk bersisian dengan mertua tercinta.
"Gimana kabarnya, Tang...sehat yaa?" tanya Bu Melia kepada menantunya.
Marsel langsung mencium tangan Bu Melia dengan menahan haru mengabarkan,
"Mam, mas mo jadi bapak. Bintang positif hamil tiga minggu." cerita Marsel tidak berhenti karena senang dan bangga.
Bu Melia tidak bisa berkata apapun sambil memeluk menantunya. Dia sudah tidak tahu harus berkata apa. Kebahagiaan memuncak mendengar kabar ini. Dinasti keturunan RM Suryo Hadipradana akan terwakili olehnya.
   Marsel menggandeng kedua wanita yang sering membuatnya pusing tidak menentu.  Sebelum menyalakan mobil Marsel menoleh ke kursi belakang ada istrinya yang duduk menyandarkan kepalanya ke bahu sang ibu. Senyumnya mengembang dan satu janji tertanam dijiwanya cintaku akan terbagi tiga untuk ibu, istri dan calon bayiku.  Lindungi kami ya Allah...


KAMU YANG SEKARANG BUKAN YANG DULU

   Hujan menghalangiku untuk segera kembali ke rumah.  Sudah dua hari ini aku pulang telat waktu, genangan air membuat jalan jadi macet sehingga  menyulitkanku.  Suamiku berusaha memahami masalahku dengan menawarkan jasa untuk menjemputku tetapi dengan halus berdalih tidak ingin merepotkan siapapun.  Sore ini tanpa diduga suamiku sudah menunggu di lobi untuk menjemput,
"Sudah selesai Biv, aku di lobi ya" ujarnya diujung telpon.

"Mahy...tunggu ya aku turun ini lagi siap-siap" ujarnya bergegas.

Bintang langsung menghampiri suaminya dengan senyum yang terduga.
"Ga repotkan, sampai bisa jemput aku" ujar Bintang sambil bergelayut manja.

"Kalo untuk kamu semua pasti bisa" jawabnya jujur.
Mereka berpayungan menuju mobil.  Saat keluar dari halaman kantor,
"Biv, punya ide ga enakan kita ngapain ya?" tanya Marsel.

"Mahy, kenapa lagi jenuh ya" sambilq mengelus wajah suaminya yang sedang menyetir.
Saat melawati mall Marsel langsung membelokan mobilnya ke arah mall tersebut.
"Kita nonton yuk!" ajak Marsel tanpa meminta persetujuan istrinya.

Bintang mencoba memahami watak suaminya karena mereka memang masih dalam proses penyesuaian pribadi masing-masing. 

"Mahy, yang penting kamu senang" ujar Bintang tersenyum.
"Tapi aku ga mau seperti itu aku maunya kita berdua bisa saling membutuhkan" ujar Marsel tanpa menoleh sedikitpun.

Bintang merasa ada yang tidak beres dengan suaminya. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki bioskop.
"Mahy, Bive mo beli popcorn dulu ya...terus minumnya apa?" ujar Bintang mencoba menetralisir keadaan.
"Oke, air mineral aja yang dingin" ujarnya senyum.
   Pertunjukan film masih berlangsung tetapi hati dan pikiran Bintang entah kemana berbeda dengan Marsel yang masih asik menikmati film laga itu.
Sampai akhirnya pertunjukan selesai suaminya langsung mengajak makan di resto favoritnya bakmi GM.
   Baru satu suap makanan masuk ke dalam mulutnya tiba-tiba melihat suaminya menghabiskan bakmi  dengan  lahab di tambah dengan pangsit goreng andalan resto ini. Bintang mulai merasa jijik dengan cara makan suaminya.  Dengan tergesa-gesa dia pamit hendak ke kamar kecil, rasa mual mulai menjalar tenggorokannya. Belum sempat masuk bilik wc dia berlari ke arah wastafel tiba-tiba keluarlah cairan kuning dari mulutnya.
    Setelah itu Bintang mengatur hati dan pikirannya sebelum keluar menemui Marsel.
"Biv...kamu ga pa pa kan?" tanya suaminya cemas karena wajah Bintang mulai memutih.

"Habiskan dulu makanannya terus kita pulang yaa" ujar Marsel lagi.

"Ga deh, aku ingin pulang sekarang" ujar Bintang singkat.

   Sesampai di rumah setelah membersihkan diri Bintang langsung tidur.  Marsel heran melihat tingkah istrinya dalam beberapa hari ini yang tidak tahu sebab  akibat.
  
   Saat terjaga dari tidur Bintang merasa kesal melihat Marsel yang tidur disebelahnya mengeluarkan air liurnya alias ngiler. Rasa mual kembali menyerang dengan tergesa-gesa dikeluarkan cairan dari mulutnya sama seperti semalam cairan itu masih berwarna kuning.
   Mendengar suara orang sedang muntah, Marsel langsung terbangun dan menemui istrinya di kamar mandi.
Saat melihat suaminya, Bintang semakin marah dan mengusirnya.
Diantara keheranan dirinya, Marsel mencoba bersikap tenang. Entah apa yang terjadi dengan istrinya itu.
   Marsel menutup shalatnya dengan doa berharap watak istrinya tidak kembali  seperti dulu. Aku menginginkan kamu yang sekarang bukan yang dulu...

Kamis, 20 April 2017

SANG BINTANG

   Genap sebulan gelar nyonya disandangnya, rasa bahagia menyelimuti kehidupannya.  Semua merasa takjub dengan perubahan yang terjadi pada wanita ini perangainya lebih lembut dan yang terpenting amarahnya perlahan tapi pasti mulai mengikis.  Berkat kasih sayang dan kesabaran dari laki-laki yang dicintainya sekarang dia sudah bisa mengatur emosinya.

   Ibarat tanaman yang sedang mekar dia mulai mengeluarkan kecantikan batin yang tersimpan sejak lama.  Senyum yang selalu merekah bukti pancaran batinnya yang penuh dengan cinta tulus dan rasa syukur.  Kebahagiaan sedang menyelimuti pasutri ini memang membuat iri setiap mata yang memandang, keduanya mempunyai wajah rupawan dan senyum yang menawan. 
  
   Sering kudengar indahnya rumah tangga ada di bulan pertama perkawinan yang sering disebut bulan madu. Untuk bulan kedua dan seterusnya terserah anda karena ibarat perahu mereka berdualah yang tahu hendak kemana tujuan akhirnya.

   Baru saja Bintang menutup teleponnya saat Marsel sang suami mengucapkan salam sambil menuju kearahnya,
"Assalamualaikum" senyumnya mengembang.

"Wa alaikumussalam" jawab Bintang menyongsong sang suami dengan senyum dan mencium tangannya.

   Sejak menikah memang Bintang berjanji untuk tiba di rumah lebih dulu dan tidak membawa pulang pekerjaan kantor.  Sebisa mungkin dia ingin menjadi ratu rumah tangga seperti ibunya, wanita yang mengabdikan dirinya untuk suami dan anak-anaknya.  Marsel mengijinkannya untuk melanjutkan pekerjaan tapi jika dirinya sudah berbadan dua sudah pasti tugasnya seratus persen di rumah. 

"Sabtu ini ada acara ga?" tanya Bintang sambil menyiapkan makan malam.

"Ga, emangnya Bive mo ngajak kemana?" ujar Marsel balik bertanya. 

Sejak menikah mereka punya panggilan sayang, kalau Marsel memanggil Bive kependekan dari Bintang love sedangkan Bintang memanggil suaminya Mahyong karena punya hobi ngelempar semua barang dari kaus kaki sampai baju mirip permainan mahyong.  Tingkahnya bikin Bintang kesal karena rumah menjadi tidak pernah rapi, tapi entah mengapa Bintang tidak bisa protes melihatnya.  Dia belajar untuk memahami kebiasaan sang imam.
"Sabtu besok kita diundang makan siang sama Aa Rudy di rumahnya" ujar Bintang.

"Oh...acara apa?" Tanya Marsel lagi.

"Ngumpul aja silaturahim" jelas Bintang.

"Ok bisa kok?" senyum Marsel setuju.

    Tidak terbayang betapa senang dan gembiranya perasaan Bintang bisa berkumpul dengan keluarganya.

   Sudah sejak subuh Bintang sibuk di dapur membuat makaroni panggang kesukaan gerombolan keponakannya.

Marsel hanya tersenyum melihat Bintang dengan segala kerepotannya.  Suara Bintang masih terdengar nyaring menyuruhnya mandi setelah sarapan.

Selesai sudah acara memasaknya ketika telepon berbunyi,
"Assalamualaikum, Ka Bintang mo ngomong sama Mas bisa karena hp-nya ga dijawab?" suara Icha terdengar diujung sana.

"Wa alaikumussalam, Mas lagi mandi ada apa Cha?" Bintang balik bertanya.

"Ok nanti aja deh kalo sudah mandi tolong telepon mama ya" jawab Icha seperti menyembunyikan sesuatu.

Dilihatnya Marsel sedang berpakaian, Bintang langsung menyampaikan pesan adiknya untuk menelpon mama.  Bintang tidak menaruh curiga sedikitpun, dia merasa itu hanya pembicaraan biasa antara ibu dan anak.
    Bintang sedang menyelesaikan riasannya ketika Marsel mengatakan kalau mama minta diantar ke rumah kakaknya.

"Ya udah bilang aja selesai kita dari rumah Aa Rudy terus anter mama" ujar Bintang memberikan saran.

"Nganter Biv dulu ke rumah Aa terus langsung ke Serpong, karena mama maunya diantar sama aku aja" jelas Marsel dengan ragu.

Hempasan napas kekecewaan Bintang jelas terdengar oleh Marsel.
"Biv, tolong kali ini saja ya" Marsel memohon pengertian istrinya.

Sepanjang perjalanan ke tempat kakaknya Bintang hanya terdiam sambil memainkan telepon genggamnya mendengar penjelasan Marsel yang dirasa kurang masuk akal. 
  
    Marsel turun untuk menyapa keluarga besar istrinya, setelah itu berlalu.  Bintang mencoba senatural mungkin menjelaskan mengapa Marsel tidak bisa bergabung.

Acara sudah selesai, satu persatu keluarga besarnya pamit pulanTinggal.  Bintang dan Teh Mimi kakak iparnya membereskan sisa-sisa pesta. 
"Marsel mo jemput jam berapa Tang?" tanyanya.

"Katanya sebentar lagi masih anter mama" jelas Bintang datar.
Teh Mimi bisa menangkap gelagat yang kurang baik dari adik iparnya ini tetapi tidak ingin mencampurinya.  Hanya sesekali dia memberikan pengalaman pribadinya bersuamikan lelaki kesayangan ibu.

Jam sudah menunjukan setengah sembilan malam, Marsel belum juga memberi kabar keberadaan dirinya.

"Ate, main di kamar dede yuk!" ajak keponakanku yang lucu ini.

"De, tante suruh mandi dulu ya nanti baru main" perintah Teh Mimi kepada putra bungsunya sambil menyodorkan daster batik koleksinya.
   Setelah bersih dan rapi, Bintang langsung mengajak bermain Dede sampai akhirnya ikut tertidur.
Bintang terkejut saat Marsel sudah duduk bersandar  disebelah tempat tidur.  "Ngantuk ya, mo pulang atau nginep?" tanya Marsel sambil mengusap rambut istrinya.

"Sekarang jam berapa, dari tadi ya...kita pulang aja yuk" ajak Bintang seperti ansk kecil.

Bintang pamit pulang kepada kedua kakaknya, sebelum keluar rumah Marsel mengingatkan,
"Jilbabnya pake dulu dong, ini baju siapa?"

"Oh iyaa, pinjam dulu ya Teh" ujar Bintang melihat iparnya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya.

Kakaknya tersenyum melihat Marsel menjinjing tas adiknya sambil merangkul Bintang yang berjalan sempoyongan karena mengantuk.

Didalam mobil Marsel mengucapkan terima kasih atas pengertian dan perhatian terhadap ibunya.

"Mama seneng banget waktu Bive bilang selamat menikmati jalan-jalannya apalagi sampai di bekalin makaroni" ujarnya semangat.

Oh my God, rupanya pesan itu nyasar ke mertuanya padahal pesan itu untuk Dewi yang sedang berlibur.  Dan makaroni itu... tadinya yang di wadah kecil itu untuk tuan rumah tapi karena kesal jadi ketinggalan.
Hadeuh!!

Sebelum turun dari mobil, Marsel berkali-kali mencium pipinya sambil mengucapkan terima kasih sudah menjadi istri dan menantu yang baik.
"Kamu adalah sang bintangku" ujarnya saat menggandengku memasuki rumah.







Rabu, 19 April 2017

KAULAH HIJABKU

   Terdengar suara Teh Lina kakak ketiganya mengetuk  pintu kamarku diiringi kumandang Adzan subuh.  Kupaksakan beranjak dari pembaringan terasa lelah tubuh dan pikiran dalam menyiapkan janji suci ini.
Suara Teh Lina terdengar lagi memanggilku,
"Ya Teh, ini baru mo sholat" ujarku sambil membuka pintu kamar.

Sudah sejak kemarin rumah ini ramai oleh kehadiran keluargaku, mereka semua menemani dan menenangkan jiwa ini dalam menghadapi peristiwa bersejarah dalam hidupku.

Tinggal dua hari lagi pernikahanku dengan Marsel akan terlaksana dan rencana hari ini akan ada tukang yang akan menghias istana kecilku, terutama kamar ini yang sudah di ganti interiornya dengan cat warna gading dan perabotan jati warna coklat muda sesuai perintah sang pangeran.  Masih teringat pesannya saat itu,
"Denger ya, gue ga mau temboknya warna pink ato biru terus rame sama kembang kaya kawinannya si Tris emangnye taman bermain, pake seperlunya."

Disadari atau tidak kita berdua memang tidak terlalu suka dengan desain yang terlalu banyak ornamen kesannya jadi tidak ekslusif. 
   Suara Teh Lina terdengar nyaring sedang memberikan instruksi kepada keluarga yang sedang berkumpul untuk sarapan dan membereskan perlengkapannya masing-masing karena rumah ini mau dihias.
"Terus kita pindah kemana?" tanya keponakan-keponakanku.

"Ke rumah masing-masing, biar rumah tante ga berantakan" ujarnya lagi.

Aku  tersenyum bahagia dan juga bersedih melihat kebersamaan keluargaku.  Bahagia karena kita bisa saling mengasihi dan sedih jika teringat kedua orangtuaku yang kini sudah tiada. Ketiga kakak serta adikku menikah didampingi kedua orangtua sedangkan aku...tidak terasa air bening ini mengalir lagi. 
"Tang, kenapa lagi?" tanya Teh Lina sambil merangkulku.

"Bintang kangen sama ayah dan ibu" kataku tak kuasa menahan jatuhnya air mata ini.
Saudaraku yang lain hanya bisa terpaku melihatnya.

"Sabar ya, Tang" suara Teh Lina parau seakan tak sanggup untuk berkata-kata lagi.
Sejak kecil kita berdua memang dekat mungkin karena usia yang terpaut setahun jadi seperti kembar.  Tak lama Teh Rima kakak keduanya bergabung, mereka bertiga berpelukan sambil menangis. Tiga wanita ini memiliki watak yang berbeda tetapi bisa saling melengkapi.

"Doain aja biar ayah dan ibu tenang disana, yang penting coba untuk menata hati kamu biar tenang juga karena mereka merasa bahagia lihat kamu sekarang" kata-kata Teh Rima menenangkanku.
   Kucoba menenangkan diri dengan tafakur di sudut kamar tamu karena kamarku sedang di hias. Kupercayakan semua penataan rumah ini kepada desain interior andalanku Teh Rima.  Walau belajar secara otodidak tetapi dialah yang mewarisi kemampuan urusan tata menata seperti ayah. 
Berkat tangan dingin Teh Rima kamarku sudah selesai dihias, dominasi warna gading untuk bed cover dan seprei serta diselingi coklat muda untuk gordennya. Hanya ada tiga vas bunga diantaranya berada di meja rias, diatas kepala ranjangku dan didalam kamar mandi.  Semuanya akan diisi rangkaian bunga sedap malam dan daun pandan yang dijalin untaian melati.
  
    Menjelang sore kamarku sudah selesai dihias dan rumah mungil ini seperti tahu akan ada imam yang akan menopang keutuhan diriku.  Hamparan permadani untuk acara pengajian besok membuat rumah ini terasa luas.  Wangi semerbak  bunga melati seakan menjadi terapi untuk menurunkan kegelisahanku.
   
    Malam ini aku tidur dikamar tamu ditemani Teh Rima dan Teh Lina sedang Aa Rudy dan Teh Mimi tidur di depan ruang tivi. 
"Tang, aa sama teteh tidur di sini ya" ujar A' Rudy menggoda sambil membuka pintu kamarku.

"Ehh, itu kamar penganten ga boleh...pamali tau!" seru Teh Lina tertawa.

"Heh udah malam, ayo tidur!" seru Teh Rima sambil melempar bantal ke arah A'Rudy.
Mereka bercanda seperti saat kecil dulu, Bintang hanya tertawa melihat ketiga kakaknya saling lempar bantal.
Terdengar suara Teh Mimi memanggil suaminya untuk tidur,
"Tuh dah di suruh tidur sama yayang" goda Teh Lina yang disambut tawa keduanya.
    Jelas sekali mataku tidak bisa terpejam menanyakan satu janji yang belum kutunaikan sampai saat ini.

   Lantunan ayat-ayat suci mengiringi acara pengajian pagi ini memohon kelancaran untuk acara sakral besok.  Air mata tidak henti-hentinya menetes apalagi di saat memohon doa restu kepada keluarga besar.  Abaya serta jilbab warna peach menambah cantik dan anggun dirinya.
   Selesai acara pengajian Bintang menanyakan telepon genggamnya kepada Teh Lina yang sudah dua hari di tahan, namun dengan tegas tidak diberikannya dengan alasan biar fokus.  Sempat terlihat kecewa di wajahnya namun dia berusaha untuk memikirkan cara lain.
   
   Seperti malam-malam sebelumnya mata ini sukar sekali untuk terpejam bukan karena akan menghadapi hari esok yang paling bersejarah tapi karena ada sebuah janji yang sampai saat ini masih ragu untuk dilakukan.
    Detik-detik sakral itu sudah didepan mata, ketika penghulu meminta untuk menghadirkan mempelai wanita. Jantungku makin tidak menentu, pintu ruang rias di ketuk oleh Teh Rima.  Saat pintu terbuka tampak wajah terkejut terlihat jelas di kedua kakakku.
"Tang!" ujar keduanya bersamaan.
Aku hanya tersenyum. Diapit kedua kakaknya Bintang memasuki masjid tempat dilaksanakannya akad nikah ini.

   Semua mata memandang takjub  kepada sang mempelai wanita yang tampil cantik dengan kebaya panjang warna putih tulang serta hijab warna senada di lapisi warna emas menambah cerah wajahnya. Tidak ada lagi gadis tomboi berkaca mata dengan rambut diikat satu.  Yang ada hanyalah gadis cantik dengan hijab menutupi rambut indahnya. Tanpa kacamata yang menghalangi jelas terlihat mata indahnya.
    Dialah Bintang Sauqya Nissa yang sekarang resmi menjadi nyonya Marsel Pradana. 
Selesai acara pernikahan ini Marsel bertanya kepada istrinya,
"Kamu beneran pake hijab"

" Ya aku ingin menepati janjiku kepada ayah" jawab bintang tenang.

"Berarti aku ga berarti dong" ujarnya sambil merangkul istri tercintanya.

"Sepertinya kurang tepat justru kamulah hijabku sayang, suamiku adalah hijab yang sesungguh yang menutupi aurat dan aib istrinya" ujar Bintang membalas rangkulan Marsel.

  

Selasa, 18 April 2017

PRATU

   Sudah seminggu sejak kecelakaan itu, Alhamdulillah kondisi Marsel semakin membaik malah boleh dikatakan sudah normal seperti sedia kala.  Berita tentang keberadaannya sudah gencar tersebar dikeluargaku, rasa bahagia terpancar dari wajah mereka. Akhirnya penantian panjang dan doa yang selalu dipanjatkan seakan terjawab sudah. Terutama kakak laki-laki tertuaku, merasa tugasnya sebentar lagi akan selesai menjaga amanah sang ayah.
    
   Pertemuan kedua keluarga sudah dilakukan dan rencana besar sudah  tetapkan tinggal menunggu hari istimewa itu datang.  Aku dan Marsel menginginkan pelaksanaan pernikahan yang sederhana, biar terasa sakralnya.

   Tingkat stresku bertambah bukan karena menyiapkan acaranya tetapi lebih kepada hubungan kita berdua.  Kucoba untuk lebih mendekatkan diri pada sang Kuasa, memohon kekuatan lahir dan batin.  Diantara malam malam panjang penantian ini perasaan ragu mulai menyerang balik.  Berbagai nasihat yang kuterima semua sama,

"Sabar Tang, kamu kan tau waktu aa dan teteh nikah dulu malah si aa ga nongol gara-gara ngurus hobinya nyelam dan baru datang jam 11 siang kita semua panik kan...untung penghulunya tetangga!" kata kakak iparku Teh Mimi sambil tersenyum.

   Mencoba untuk bersabar dan bersabar, sampai-sampai tukang jahit kesal karena ukuran kebayaku turun terus tiap minggunya. Padahal aku makan seperti biasa tetapi tidak tahu kemana larinya hasil olahan perutku.  Berbeda dengan Marsel yang berat badannya tidak mau kompromi dari ukuran celana tiga dua dalam tiga bulan naik jadi tiga empat.  Kalau ditanya perihal berat badan jawabnya bisa dengan santai keluar dari mulutnya,
"Semua masalah udah gue makan bareng nasi...jadi kenapa mesti bingung!"

   Kamis ini adalah hari terahirku bekerja sebelum cuti untuk penyambut hari bahagia.  Sore ini rencananya kita mau fitting terahir baju pengantin.  Mengingat kesibukanku akhirnya disepakati  bertemu di rumah perias, aku ditemani Teh Mimi karena rumahnya dekat dengan perias sedangkan Marsel ditemani Mba Mey.
    Akhirnya semua hutang pekerjaanku lunas.  Segera aku bersiap untuk melanjutkan rencana yang sudah diatur seminggu yang lalu dan masuk tindakan segera...fiiting baju!  Aku ingin memastikan janjiku dengan Teh Mimi tetapi hp ku tidak ketemu.  Setelah merogoh tasku lebih dalam akhirnya ketemu juga.  Tak disangka sudah lima belas panggilan tak terjawab lima dari Teh Mimi dan sepuluh dari Marsel.

   Sambil menyetir kucoba hubungi salah satu nomor ini baru tombol hp mau ditekan sudah lebih dulu hp-ku berbunyi.
"Yaaa Teh" jawabku singkat.

"Kamu dimana, ko jam segini belum datang!" tanyanya kesal.

"Masih di jalan, bentar sepuluh menit lagi sampe" jawabku terburu-buru.

Sesampainya di tempat tujuan sudah terlihat wajah-wajah tegang yang sudah dua jam menunggu.

"Maaf, tadi ngelarin kerjaan dulu karena besokkan sudah cuti!" ujarku memelas.

Saat Bintang melakukan pengepasan kebaya beberapa kali protes karena bajunya tidak enak di pakai dan tidak sengaja tertusuk jarum pentul sehingga mulailah keluar watak aslinya yang mudah marah.
"Aow sakit! Gimanaan sih!" hardiknya kepada asisten perias.

Semua yang berada di ruangan itu mencoba menenangkan Bintang tetapi tidak dengan Marsel yang sudah kesal dengan tingkah polah calon istrinya.
"Ya udahlah, gitu aja ribut banget sih!"

Sang paes yang sering menghadapi suasana seperti juga tidak kalah sibuk mencoba menengahi emosi keduanya. 
Tidak sampai disitu emosi Bintang mulai mengembang karena sunggar yang sudah dipesan belum dikembalikan oleh pelanggan yang sebelumnya.  Walaupun sudah diingatkan Bintang tetap kekeh ingin sunggar yang diidamkannya.

"Kamu maunya apa sih!" Marsel mulai hilang kesabarannya.

"Tapi akukan sudah pesan duluan" jawabnya kesal.

"Maaf ya Bu, maklum pratu jadinya mo serba sempurna...soalnya kapan lagi jadi ratu" sindir Marsel sinis.

Suasana kian memanas ditambah lagi perkataan Marsel membuat emosi Bintang meledak,

"Jangan ngomong  seenaknya kamu pikir saya apaan!" jawabnya sambil menahan air mata.

"Astagfirullahaladziim... kamu berdua bisa nahan diri ga sih!" Teh Mimi setengah berteriak melihat tingkah keduanya.

"Ya Allah Bintang, Marsel... ga usah repot sama urusan baju yang penting tuh akadnya!" jawab Mba Mey tidak kalah emosi melihat calon pasutri ini.

Merasa terpojok dengan situasi ini Bintangpun berkata sambil berusaha menahan amarahnya,
"Ya udah ga usah nikah aja sekalian mending gue jadi pratu ...perawan tua!"

Mba Mey menahan Marsel agar tidak menambah  masalah.  Suasana benar-benar panas, untuk meredakan kondisi ini ibu paes mengajak kita semua untuk shalat magrib berjamaah.

Awalnya Bintang tidak mau untuk shalat berjamaah, tetapi berkat kesabaran Teh Mimi akhirnya ikut juga.

Bu paes memberikan isyarat kepada yang lain untuk meninggalkan Marsel dan Bintang agar bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.  Perlu setengah jam Marsel memulai pembicaraan dengan Bintang, sampai pada akhirnya meluncur kata-kata dari mulut Marsel.

"Tang, sebenarnya kita mo apa sih".
Bintang tidak menjawab hanya air mata yang menetes menembus matanya yang bulat.

"Kitakan sudah sepakat untuk memulai segalanya dengan kesederhanaan untuk apa lagi kita batalin semua hanya karena masalah baju, gue cuma ingin nikah dengan perempuan kesayangan gue" sambil menatap wajah Bintang penuh cinta. 
Bintang hanya mengangguk menyetujui ucapan calon imamnya.

Senin, 17 April 2017

AYAH = KAMU

   Cutiku sudah habis, rencana esok kembali ke dunia nyata untuk mencari nafkah yang pada akhirnya akan diberikan kepada siapa aku juga belum tahu.  Telepon genggamku menyala dengan nama yang sudah tidak asing lagi tertera di layar.  Dengan setengah kantuk ku jawab teleponnya.
"Ya Sel, kenapa?"

"Belum tidur, besokkan kerja?" tanya tuan muda ini.

"Gimana mo tidur kalo diganggu sama bunyi telepon kamu"

"Ok deh sorry... tapi ga marah sama aku lagi kan?" tanyanya dengan nada mirip balita tidak kebagian gulali.

"Tau ah, ngantuk mo tidur nih!" rajukku.

"Ya deh cantik...jangan lupa berdoa terus nanti mimpiin aku ya sayang" goda Marsel lagi.

"Gombal! Malu sama umur tahu!" jawabku sambil menahan tawa.

"Romantis dikit ngapah?" ujarnya lucu.

"Udah ah, gue tutup nih hp-nya!" ancamku sambil tak kuat menahan tawa.

"Ok deh, met bobo Miyu-miyu sayang hadirkan aku yaa...cup-cup ah" ujarnya manja.

"Iyaaa.." ku akhiri telepon dengan suara datar.

Perasaan bahagia mengantarkan tidurku.

   Dengan semangat yang sudah ku kumpulkan dari semalam, aku berharap yang terbaik untuk diriku dan orang-orang yang tersayang.
Di saat aku sedang bersiap-siap tiba-tiba Tiwi asisten rumah tanggaku mengetuk pintu,
"Kenapa Wi?" tanyaku sambil membuka pintu kamar.

"Ada tamu Bu, katanya sudah janji" jelas Tiwi.

"Siapa?" tanyaku lagi.

"Ga tau saya belum pernah lihat" jawab Tiwi sekenanya.

"Ya udah, suruh tunggu di luar!" perintahku.

"Ya Bu" ujarnya sambil berlalu.

Karena penasaran ku percepat acara rutinitas pagi. Belum sampai ruang tamu sudah terlihat tamu tak diundang sedang duduk manis dengan mulut yang penuh makanan.
"Ngapain ke sini!" hardikku melihatnya senyum-senyum.

"Lapeerr, dari kemaren belum makan karena susternya ga dateng" jawabnya santai.

"Marseeel, bisa ga sih sekali aja ga bikin gue kesel. Kan di suruh istirahat, ngapain keluyuran!" jawabku kesal.

"Makanya jadi suster yang rajin kalo pasien belum sembuh jangan kabur-kaburan mulu!" jawabnya berlalu ke arah ruang tivi.

"Sel, gue mo kerja nih terus ngapain sendirian disini. Bentar lagi si Tiwi pulang,  diakan cuma sebentar."

"Marsel ayo cepet dong, nanti gue telat" suaraku mulai melemah.

"Seelll!" suaraku tambah melengking karena kesal tidak ada tanggapan.

Ya Allah...dia tertidur pulas di karpet dengan tivi yang masih menyala.  Ku coba menahan emosi menghadapi pasien satu ini.  Beberapa nomor hp yang ku hubungi semuanya nada sibuk. Akhirnya pesan singkat via WA tentang keberadaan Marsel di rumahku telah dibaca Icha.  Tidak lama Icha menelponku,
"Assalamualaikum" suara Icha terdengar serak.

"Wa alaikumussalam, ya Cha" jawabku pelan kuatir membangunnya.

"Ni ka, mama mo ngomong" ujar Icha sambil menyerahkan telepon genggam ke Bu Melia.

"Bintang, mama minta maaf ya karena pagi-pagi sudah direpotin sama Marsel!" suara Bu Melia memohon.

"Ya udah ga pa pa mam, tadi sudah sarapan dan sekarang lagi tidur!" jawabku datar. 

Setelah mengantar Marsel pulang dua hari yang lalu Bu Melia ingin aku memanggilnya mama biar lebih akrab.

"Di rumah ada pembantu ga?" tanya Bu Melia kuatir.

"Ada mam cuma ga nginep, tapi rumahnya deket  dibelakang komplek sini ko!" jelasku.

"Kamukan mo kerja, bisa minta tolong si mbanya suruh tunggu dulu sampai mama datang ya!" pintanya.

"Ok mam, tenang aja" salamku mengakhiri pembicaraan ini.

Ku temui Tiwi yang sedang mencuci di atas.
"Wi, tadi ko dia bisa masuk. Kan ibu sudah suruh tunggu di luar!" mencari tahu.

"Bapak itu bilang dia tunangannya ibu...lah kenapa ibu tadi perhatian banget sama Pak Marsel" jawabnya polos.

"Udah deh berisik!" jawabku kesal.
Rencana mau cari info malah jadi terjebak perkataannya Tiwi.

Tiwi sudah diinstruksikan untuk menyiapkan makanan sambil menunggu Bu Melia datang. 

   Perjalanan ke kantor agak terhambat karena kehadiran pasien yang sekarang banyak menuntut.  Dibalik rasa kesal yang bertumpuk masih terselip keberuntungan.
"Alhamdulillah, untung finger printku belum berwarna merah jadi ga kepotong, deh!" batinku senang.

Saat memasuki ruang kerjaku, tiba-tiba sobat sekaligus menejer personalia menyerobot masuk.

"Kemarin kemana, Bu?" tanyanya penuh selidik.

"Lagi banyak urusan" jawabku datar.

"Masalah perjodohan lagi?" tanya Dewi penasaran.

Dia memang sahabatku tapi saat ini Dewi belum boleh tahu masalah yang sebenarnya apalagi sampai tahu kalau Marsel sedang tidur di rumah.  Bisa panjang urusan gosip di kantor ini.
Sudah sejak lama kakak-kakakku melakukan bisnis perjodohan yang membuat geram.
    Langsung ku jawab hp-ku yang berdering sejak tadi,
"Ya Wi" jawabku singkat kuatir Dewi curiga.

"Ibunya Pak Marsel dan mbakyunya sudah datang, tapi Pak Marsel masih tidur. Terus saya boleh pulang ga?" ujar Tiwi seperti kereta langsir.

"Ya udah sekarang kamu boleh pulang nanti pas makan siang saya mampir yang penting kerjaanmu beres!" perintahku lagi.

"Repot banget sih, emang lagi ada tamu agung?" cecar Dewi semakin gesit.

"Ya ampiun...udah deh bu waktunya kerja. Nih liat tumpukan tugas yang belom gue periksa!" jelasku dengan nada super judes.

Dewi langsung berlalu dengan senyum sinis,
"Makanya kawin, biar ada temen sharing!".

Untung aku biasa kerja serabutan jadi sebelum makan siang semua sudah siap untuk di periksa sama bos idola wanita sekantor kecuali aku!.

   Mobil sudah kuparkir di depan rumah sekarang urusan satu jam ke depan adalah menangani pasien manja ini.
Dengan sedikit basa-basi kupersilahkan Bu Melia dan Mba Mey untuk makan siang.  Sambil bersantap siang kami membicarakan kelangsungan hubunganku dengan Marsel.
   Kucoba memahami situasi ini tetapi akal sehat dan batinku selalu bertentangan.  Di satu sisi figur ayah adalah salah satu syarat calon suamiku tetapi disisi lain membuka hati untuk pria lain apa salahnya. Entah darimana datangnya ide ini yang penting ayahku sama dengan kamu dalam hal tanggung jawab!  Yess thanks Allah!

Minggu, 16 April 2017

MIYU-MIYU

"Pagi Bintang" suara itu terdengar serak.
Aku menoleh melihatnya tersenyum manis.

"Pagiii, Sel!" seruku senang melihatnya mulai pulih.

Kusibakan tirai jendela agar sinar mentari dan udara segar bisa masuk melalui jendela yang baru saja dibuka.  Secepatnya kuhampiri dia sambil menanyakan keadaannya dan diantara semangat ini,
"Adow...aduuuh sakit tau!" suara nyaring Icha yang mengaduh kesakitan.

Tanpa sadar kakiku menginjak tangan Icha yang sedang tidur di bawah ranjang Marsel.

"Yahh, maaf Cha...maaf!" seruku kaget.

Aku juga heran kenapa Icha bisa ada di kolong ranjang padahal tadi tidur di sofa.
Mendengar suara gaduh dan ketawanya Marsel, Bu Melia buru-buru keluar dari kamar mandi.

"Ada apa,sih!!" suaranya agak meninggi.

"Tangan Icha tadi ga sengaja keinjek" suara Bintang terdengar takut.

Bukannya memarahi Bintang, Bu Melia malah memarahi Icha yang punya hobi tidur serampangan.  Calon adik ipar ini memang terkenal tidurnya sambil pencak silat, awal tidur di ujung kiri kasur entah bagaimana caranya saat terbangun posisinya sudah ada sebelah kanan kasur dengan kepala menjuntai ke bawah mirip kasus pembunuhan.

   Sambil menahan tawa teringat mengapa semalam Bu Melia memaksa menyuruh Icha tidur sendiri di sofa sedangkan aku dan Bu Melia tidur beralaskan kasur lipat di lantai. 

"Udah cepetan bangun, terus mandi!" rentetan kemarahan Bu Melia kepada anak bungsunya.

"Ko bisa kamu ada di kolong, Cha?" tanyaku penasaran.

"Iya, tadi habis shalat subuh masih ngantuk jadi ketiduran di sejadah!" urainya sambil meringis menahan sakit.

Aku dan Marsel hanya bisa senyum sambil menggelengkan kepala melihat gaya sembrono anak manja ini.
Adiknya memang terpaut usianya sepuluh tahun dengan Marsel, wajar kalau selalu minta perhatian lebih. 

   Melihat Marsel sudah bisa berkomunikasi dengan baik membuat kami bertiga yang menjaganya sejak tiga hari yang lalu tidak merasa jenuh.

   Setelah kepergian ayahnya lima tahun yang lalu menjadikan Marsel tumpuan  karena dialah lelaki semata wayang di keluarganya.  Dengan melanjutkan usaha kontraktor peninggalan ayahnya, Marsel jatuh bangun memberikan yang terbaik untuk menghidupi ibu, adik dan puluhan karyawannya.  Alhamdulillah, kedua kakaknya sudah berkeluarga dan memiliki ekonomi yang baik.  Sehingga tidak menambah beban hidupnya.

    Pagi ini Dokter Agus sedang memeriksa kondisi Marsel.
"Alhamdulillah, dah bagus ko! Tetap jaga kesehatan, ya dan jangan terlalu cape mikir!" serunya tersenyum sambil menyuruh suster untuk menyiapkan administrasi untuk kepulangan Marsel.
Icha sibuk mengabari keluarganya kalau Marsel sudah di ijinkan pulang, jelas terlihat perasaan lega dan senang menyelimuti kami semua. 
 
   Setengah jam kemudian Mba Mey dan Mba Ii kakak keduanya yang menetap di  Bengkulu datang dengan membawa kedua anaknya.  Pintu terkuak dengan di iringi suara ramai kedua makhluk kecil ini.

"Assalamualaikum, Om Aseeel" ujar kedua keponakannya berlari ke arahnya.  Wajah Marsel terlihat sumringah di kelilingi keluarganya.  Dalam hati, aku mengagumi betapa Marsel hidup di sayang dan diperhatikan oleh orang-orang disekelilingnya hal ini adalah buah dari rasa cintanya yang tulus untuk orang-orang sekitarnya.

Mba Mey mengenalkan aku dengan Mba Ii dan kedua putra-putrinya.

"Hai tante Bintang!" ujar mereka bersamaan.

"Hai juga, namanya sapa sih?" tanya Bintang sambil berjongkok.

"Aku Aurora, terus ini ade" ujarnya sambil menunjuk  adiknya.

"Namanya bukan bukan ade, ka! Tapi Andre" jelas Mba Ii sambil merangkulku.

"Karena sering di panggil ade jadi dia pikir nama adiknya ade" jelasnya sambil melirik kedua bocah berusia tiga dan dua tahun.  Canda tawa keduanya meramaikan kamar ini. 

   Setengah hati Marsel menghabiskan makan siangnya,
"Ga enak, hambar ganti nasi padang aja deh!" ujarnya memelas.

"Ngawur aja lu, emangnye di hotel bisa pesen makanan enak!!" gerutu Mba Ii yang di sambut tawa kami semua.

"Makanya cepat sembuh, terus nikah jadi ada yang urusin" cecar Mba Mey sambil melirik kita berdua.

Sambil senyum-senyum Marsel menyolekku,
"Tuh, ditanyain ko diem aja."

Kalau sepi mau rasanya piring yang ku pegang ini mampir ke kepalanya.  Mereka semua tertawa melihat wajahku yang sudah tidak jelas warnanya karena di goda terus . 

  Semua bersiap-siap untuk meninggalkan kamar.  Tiba-tiba Aurora mendekati Marsel,
"Om, kaka baru inget".

"Apa ka?" tanya Marsel.

"Tante ini kan yang gambarnya ada di lemarinya om ya...?"  tanyanya lagi.

"Yang mana, ka?" tanya Marsel lagi sambil berusaha mengingat.

"Yang waktu itu kaka mo ambil terus om bilang ga boleh!" seru Aurora berusaha mengingatkan omnya.

"Yang mana yaa, Ka?" sahut Marsel lagi.

"Bener ko...yang ada tanduk terus giginya panjang keluar kaya setan!" serunya ngotot.
Kami terhenyak mendengar perkataannya lantas Mba Ii menimpali,
"Kaka salah kali!" Mba Ii berusaha mengalihkan rasa penasaran putrinya yang mewarisi ingatan tajam Angga papanya.

"Maaf ya Bintang!" ujarnya sambil memegang pundakku.

"Ga pa pa, Mba. Namanya juga anak-anak" jawabku datar sambil melirik Marsel yang meringis. Entah kesakitan atau malu karena ketahuan dosanya.

"Iya, waktu itu om bilang namanya Miyu-miyu karena suka marah-marah." jelasnya tanpa henti.

Aku hanya ngebatin, "awas ya!"

"Sudah-sudah, ayo kita pulang nanti keburu macet!" suara lembut Bu Melia mencoba mencairkan suasana.

"Mas, pulang pake mobil Bintang aja" ujar Marsel kepada ibunya.

"Bintang yakin bisa nyupir...ga kecapean?" tanya Mba Mey.

"Ga Mba" senyum Bintang berusaha meyakinkan Mba Mey dan yang lainnya.

Sepanjang perjalanan pulang Marsel berusaha membujuk Bintang bahwa itu hanya kekesalan sesaat. 

Dalam hatinya Bintang masih mencoba untuk menawar "untuk apa air matanya yang kemarin?".

Sabtu, 15 April 2017

INI PILIHANKU

Melalui telepon genggam ku hubungi Dewi manajer personalia untuk meminta ijin perpanjangan cuti selama tiga hari.  Dengan tidak banyak pertanyaan dia mengijinkan walau dengan berat hati dan terheran-heran.  Karena tidak biasanya aku meninggalkan pekerjaan dengan alasan apapun.  Sebagai sahabat yang sekaligus juga musuh bebuyutan dia khatam sekali dengan watak sejawatnya yang satu ini.  Untuknya hidup adalah kerja, kerja dan kerja.  Hingga seringkali Dewi mengingatkan sahabatnya untuk sesekali mengalihkan perhatian ke hal asmara.  Tetapi selalu saja jawaban asal keluar dari mulutku
"Belum ketemu yang sreg!".

   Di usianya yang sudah tiga puluh lima tahun harusnya sudah di sibukan dengan urusan rumah tangga seperti Dewi dan teman-teman kantor yang lain.  Tapi bukan Bintang namanya yang selalu berhitung dalam segala hal, hingga urusan asmarapun harus diperhitungkan secara maksimal.  Baru kali ini perasaannya tidak mengenal kata berhitung, sudah dua hari ini dia rela lahir batin menunggu Marsel di rumah sakit. 
  
    Perasaan bersalah selalu menyelimuti hatinya dan tanpa malu lagi Bintang mengeluarkan persediaan air matanya, yang selama ini dia simpan sejak kepergian ayah tersayang.  Terkenal sebagai puteri es karena di matanya tidak perlu cengeng menghadapi asmara.

  Justru sekarang semua berbalik menyerangnya dan tak sanggup mengusir semua perasaan yang selama ini di hindari.  
   
   Azan magrib membuyarkan lamunanku...bergegas kuhapus air mata yang sedari tadi membanjiri pipi.  Usapan lembut dari Bu Melia menguatkan hatiku, dua hari kebersamaan dengan keluarga Marsel membuatku merasa ada asa yang berbeda.  Berkali-kali kakak sulung Marsel, Mba Mey dan suaminya Mas Tok menyuruhku dan Bu Melia untuk istirahat di rumah. Tetapi kami berdua seakan tidak ingin kehilangan sedetikpun asa terhadap lelaki yang sama-sama kami sayang. 
  
   Menjelang pukul sepuluh malam suster yang merawat Marsel memanggil perwakilan keluarga.  Harap-harap cemas kami menanti Mas Tok keluar dari ICU, hingga akhirnya tidak sampai sepuluh menit kabar gembira kami terima...Marsel sudah siuman!  Dan kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah namaku...Bintang.

   Cinta perlu pengorbanan itu yang sering ku dengar, kini saatnyalah  cinta kami di uji mampukah aku melewati semua ini.  Inilah pilhanku...
   

Jumat, 14 April 2017

UMURKU BERAPA TAHUN LAGI, YA ALLAH?!

   Malam sudah mulai menjemput, rasa kantuk sudah tidak bisa di ajak kompromi.  Tetapi kejadian sore tadi membuatku bahagia hingga senyum selalu mengembang tiada henti di tambah lagi arjunaku rela menawarkan diri untuk mengantar pulang. Seperti bisa membaca situasi Mamanya menyuruh Marsel untuk mengantarku pulang dan mamanya di supiri Chika adiknya.   

   Sepanjang perjalanan entah kenapa kami tidak bisa bicara lepas seperti waktu awal bertemu, hanya suara Karimut penyiar Delta FM nyaring terdengar menyiarkankan lagu Takkan tergantikan milik Marchel.  Yang dulu sempat jadi lagu jadian dan bubaran kita, karena pacaran kita yang terbilang singkat satu jam saja.  Marsel yang menggantikan posisiku mengemudi hanya senyum-senyum sambil melirikku di sebelahnya.  Tersadar dengan situasi ini refleks kucubit tangannya.  Kita sama-sama tertawa mengenang kebodohan masing-masing tetapi justru mencairkan suasana. 
    Mobilku terhenti di salah satu rumah mungil di daerah kebun jeruk.  Rumah ini kubangun dengan semua tabungan hasil jerih payahku selama ini.  Sepintas ku lihat Marsel masih mengagumi setiap sudut rumah ini.  Ada kebanggan dalam diriku, sampai aku di kejutkan dengan suaranya yang memanggil tukang nasi goreng...baru tersadar aku juga belum makan dari tadi siang. 
"Maaf ya sampai lupa kalo punya tamu!" seruku  menahan malu.
"Ga papa, sudah tau ko!" jawabnya santai.
Aku memang punya kebiasaan entah bagus atau tidak selalu ingin diperhatikan dan sok perhatian...beda dengan Marsel yang cuek tetapi lebih tahu segala hal.

   Sampai akhirnya Marsel pamit pulang dengan menumpang ojek online. Masih kudengar suara Marsel di ujung telepon yang mengabarkan sudah sampai rumahnya.
    Subuh ini terasa sujudku semakin khusyu dengan berjuta rasa syukurku.  Kusambut hari ini dengan sebuah rencana bersama Marsel.  Teng jam sepuluh pagi ini Marsel menjemputku, terselip kebahagiaan melihatnya datang dengan tampilan kaus polo dan celana jins warna senada biru tua. 
    Dia mengajak sarapan sekaligus makan siang.."laper!" serunya.
Entah kenapa aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya.  Pasar kaget di komplekku masih ramai, pedagang dadakan ini hanya berjualan hari Sabtu dan Minggu pagi.
   Sampai tiba-tiba seorang pencuri yang menaiki sepeda motor merebut telepon genggam Marsel dan mendorongnya dengan kencang sampai membentur trotoar jalan.  Aku berteriak histeris di tambah lagi ramainya suara kerumunan orang. Dibantu beberapa orang aku membawa Marsel ke rumah sakit terdekat. 
   Sambil menangis ku lihat Marsel yang masih ditangani tim medis. Dengan segala kepanikan aku berusaha menghubungi mamanya, dengan suara serak dia menyuruhku untuk tetap tenang dan menunggunya sampai datang.
    Sampai akhirnya keluarganya datang aku hanya bisa menangis memeluk Ibu Melia.  Salah seorang kakak Marsel mengajak kami untuk menunggu sambil shalat memohon kesembuhannya.
Air mata ini tak kunjung berhenti, permintaan maaf serta kesembuhan untul Marsel kupanjatkan kepada Sang Khalik dalam doaku ini. 
   Tujuh jam berlalu Marsel masih belum sadar,  hingga terlintas pikiran yang menggangguku.  Ya Allah, sampai kapan jodohku...dan berapa tahun lagi umurku?!
   

Kamis, 13 April 2017

CINTA NIRLABA

   Jalan masih sepi ketika ku lewati jembatan yang memisahkan antara perkampungan kadung gading menuju kota pandeglang, masih terlintas lambaian tangan dari keluarga Mang Diman melepas kepulanganku ke Jakarta.  Ada rasa berat meninggalkan mereka tetapi banyak juga pelajaran yang ku dapat dari keluarga sederhana ini kalau cinta dan kasih sayang yang merka miliki tidak berbilang tulus ikhlas.

   Tak terasa pintu tol Serang sudah di depan mata, baru ku sadari kalau tinggal selembar dua puluh ribuan yang masih parkir di dompetku. Untung baru masuk pintu tol, jadi ku niatkan untuk mampir di area peristirahatan.  Sengaja ku pilih area peristirahatan yang kedua agar lebih dekat dengan Jakarta dan bisa sekalian shalat Ashar sambil melepaskan kepenatan batin ini.   

   Baru beberapa langkah keluar masjid, tiba-tiba sesosok wajah yang tidak asing sedang berdiri menatapku. 
"Hai Bintang!" serunya sambil memamerkan barisan gigi putihnya.
"Marsel!" teriak ku kaget.
"Masih tetep jadi anak sholeh?" godanya.
"Ihh...jangan iseng deh!" seruku senang.
Marsel adalah teman tapi mesra dari sejak SMA sampai kuliah semester dua.  Lucu memang tapi kita berdua sama-sama tidak mau mengakui kalau kita saling suka. 

   Setengah jam sudah kita bernostalgia setelah hampir tujuh tahun tidak bertemu karena terpisah laut dan benua.  Marselpun tersadar ketika suara lembut seorang wanita memanggilnya. 
"Ya mam!" Langsung Marsel menghampiri wanita yang sedang menuju ke arahnya. Wanita baya ini langsung tersenyum dan memeluk  Bintang.
"Apa kabar!" sahut keduanya bersamaan.
"Alhamdulillah, tante" jawab Bintang.
Mereka bertiga bercerita menanyakan kabar masing-masing sambil tertawa mengenang masa lalu.
Tiba-tiba Bu Melia komentar
"Kayanya kalian berdua jodoh deh, habis sudah tahunan pisah masih sama-sama jomblo!"
Semburat merah  menghiasi wajah keduanya.  Keduanya bertatapan sambil tertawa dan  berujar bersamaan,
"Yang penting tulus ya tidak ambil keuntungan, emangnya waralaba!"
Bu Melia bingung melihat tingkah keduanya.  Marsel keceplosan ngomong
"Mam, dulu kita putus karena Bintang marah di bilang kaya waralaba padahal baru ikrar pacaran satu jam..semua selalu di hitung untung ruginya".
"Ohh...jadi sekarang sudah nirlaba dong?" tanya Bu Melia lagi sambil merangkul keduanya.
Hanya hati keduanyalah yang tahu. Cintanya waralaba atau nirlaba.

  

Rabu, 12 April 2017

Cintaku Untuk Siapa

   Hampir semalaman aku tidak bisa memejamkan mata, silih berganti masalah datang bagaikan cuplikan drama televisi yang sering tayang di chanel favoritku.  Karena lelah akhirnya mata ini terpejam juga.  Sayup-sayup ku dengar panggilan Allah melalui suara merdu muadzin  mengumandangkan adzan subuh.  Dengan setengah mengantuk ku paksa tubuh ini untuk mengambil air wudlu.  Basuhan air wudlu membuat mata dan tubuhku terasa segar meyambut hari pertama di awal tahun. 

   Gerakan sholat subuh ku anggap sebagai relaksasi dalam menenangkan pikiran dan tubuh.  Ku coba terapkan dalam hati untuk semangat menjalani hidup menyongsong tahun baru ini.

   Pagi ini sengaja aku luangkan waktu untuk berjalan-jalan menikmati sisa-sisa pedesaan di kampungku yang sudah terguras oleh simbol moderenisasi... entah makhluk apa itu.     
  
   Aku menemani Bi Eti ke pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan yang akan di pakai untuk memasak hari ini.  Salah satunya ikan kembung yang akan di masak  sup ikan dengan kuah bening di celupin cabe rawit gendut dan tomat hijau...hmm maknyus rasanya.  Ini adalah menu favorit ayahku, teringat lagi akan wajah lelaki idamanku yang sedang menikmati sup ikan panas dan nasi yang masih mengepul.  Betapa cinta dan sayangnya aku pada ayah, lelaki idolaku yang belum ku temui dengan lelaki manapun.  Akibat terlalu terkesima dengan kekharismatikan ayahku makanya sampai saat ini aku masih betah melajang...
   Hiruk pikuk pasar rupanya bisa mengalihkan kenangan cintaku pada ayah.  Di tambah lagi suara cempreng Bi Eti yang nyaris menembus telinga membuatku tersadar kalau tawar menawar diantara Bi Eti dan tukang kue jejongkong belum ada kata sepakat. Permintaanku memang selama acara liburan ini suguhan makanan hanya yang berbau kampung.  Mumpung disini, kalau di Jakarta mau cari kemana?

   Kadang tidak habis pikiranku, kenapa bisa ya Mang Diman betah hidup didampingi Bi Eti yang cerewet, judes dan pelit.  Berbeda dengan kedua orangtuaku yang termasuk kategori pasutri ideal.  Jawaban santai Mang Diman karena cinta yang diberikan Bi Eti benar-benar tulus dalam mengabdikan hidupnya untuk keluarga.  Cinta tidak pakai logika itulah kalimat yang sering dikumandangkan.  Tetapi akal sehatku sering menentang,
"Emang mo makan pake cinta, mana kenyang!".
Buktinya Mang Diman dan Bi Eti yang ekonominya pas-pasan bisa bertahan. Di tambah harus menghidupi Teh Ina anak semata wayangnya dan lima orang cucu dari biang yang berbeda dan tidak tahu keberadaannya.  Alasan cinta pula yang membuat Mang Diman mengambil alih semua peran tanpa melihat untung rugi. Alasan sederhana semua karena cintanya yang besar kepada Allah Azza wazzala.     Kalau Mang Diman saja yang lulusan SD bisa memiliki cinta tanpa pamrih masa aku yang lulusan S2 akuntan dari negara Uncle Sam tidak lulus dalam urusan cinta!  Mau sampai kapan?
   Tepukan Mang Diman membuyarkan lamunanku.
"Makan dulu, yuk! Sudah matang tuh" sambil menunjuk ke arah meja makan.
Sambil berjalan bersisian ke arah meja makan Mang Diman berkata
"Hidup itu sederhana, neng. Jangan terlalu banyak ngitung...kita mah manusia cuma ngejalanin apa yang sudah di atur Allah. Ingat loh menikah itu sudah separuh dari ibadah kita" ujar Mang Diman bijak.
Sambil menarik kursi makan beliau melanjutkan perkataannya,
"Makanya si Ina jadi stres karena ibadah sudah abis di bagi-bagi! Orang nikah sekali aja sudah separuh apalagi tiga kali."
Aku hanya bisa senyum tak berarti sambil melihat Teh Ina yang sibuk menyuapi makan kelima anaknya.

Jagung Bakar 2

Jagung Bakar II

   Tiga puluh tahun berlalu, rindu akan suasana

 kampung halaman terasa memanggilku untuk 

pulang.  Suara Air sungai yang di selingi 

gemerisik pohon bambu menambah dalam 

rasa rindu ini.  Di tambah lagi aroma masakan 

yang masak mengunakan  hau atau kayu 

bakar.  Serasa lidah ini tidak bisa diam untuk 

mengunyah berbagai macam makanan yang di  
sodorkan kepadaku...semua serba alami ala 

alam pedesaan.  Tak terasa air mata ini 

menetes mengingat kenangan manis dengan 

orang-orang yang kini sudah tiada.
    
    Minggu pagi ini ku paksakan untuk 

mengunjungi tanah kelahiran kedua orang 

tuaku.  Dengan berbekal alamat salah seorang 

kerabat, demgan semangat 45 ku memacu 

Avanza kesayanganku.  Untung sudah ada 

jalan bebas hambatan walaupun

bebas sepenuhnya, tapi minimal bisa 

mempersingkat waktu dan tenaga kalau tidak 

mau sampai jam berapa sampai ke rumah teh 

Ina salah satu kerabatku yang terkenal ganjen 

dari kecil...gosipnya dia sudah 3 kali menikah!!!

"Oh my God! Gue aja satu belum dia sudah 

berkali-kali...hadeuh!" Senewen juga kalau 

ingat ceritanya.
   
   Jam di dasbor mobil sudah menunjukan 

angka 8.45 berarti tinggal sesaat lagi sampai .  
Sudah banyak perubahan yang terlihat, sambil 

istirahat sejenak ku parkir mobil di salah satu 

minimart yang banyak menjamur saat ini. 

 Keluar dari minimart tersebut tidak sengaja 

mataku tertuju pada seorang lelaki tua yang 

menjual jagung untuk di bakar. Mengingat 

besok akan pergantian tahun, dan seperti 

biasa acara bakar jagung dan bakar kembang 

api menjadi tradisi.  Ku dekati bapak tua itu 

yang asyik ngobrol dengan beberapa supir 

truk.

"Berapa harga jagungnya, Pak?" tanyaku.

"10 biji dua puluh ribu aja, Neng!" sautnya.

"Mahal amat pak!" gerutuku.

"Kalo mau enak usaha jagung bakar sendiri, 

Neng" seru beberapa supir truk kompak.

Melihat situasi yang kurang nyaman langsung 

aku berlalu tanpa melihat si penjual jagung.

   Sesampainya di rumah teh Ina dengan 

sedikit basa-basi ku ceritakan kejadian tadi 

yang bikin telinga panas...tak di sangka teh Ina

 dan Mang Darmin ayahnya teh Ina tertawa. 

 Langsung saja ku cecar dengan pertanyaan, 

mengapa mereka tertawa.

Mang Darmin menerangkan bahwa di 

kampung kami ada istilah produksi jagung 

bakar yang artinya "janda tanggung baru 

mekar"...langsung merah padam 

mendengarnya. Entah siapa yang memulainya

tetapi sekarang daerah kami terkenal dengan 

istilah itu. Hadeuh..!

Selasa, 11 April 2017

Jagung Bakar 1

Jagung Bakar


 Waktu aku masih kecil setiap lebaran hari kedua, keluargaku punya tradisi pulang kampung.  Maklum di kampung masih ada wanita spesial yang wajib dan kudu di sungkemin.  Mbu, panggilan sayang kami anak cucunya kepada wanita yang amat sangat di cintai oleh ayahku.   Wanita yang bernama Sukaesih adalah Ibu kandungnya, rasa hormat dan sayang ayah kepada Mbu memang sangat jauh bila di bandingkan dengan adik-adiknya yang lain.  Walaupun Mbu tidak tinggal serumah dengan anak-anaknya namun bukan berarti ayah dan adik-adiknya tidak pernah pengajak untuk tinggal serumah.  Dari cara halus sampai ancaman sudah di lakukan namun tetap saja Mbu lebih memilih untuk tinggal di rumah peninggalan Mbah, sebutan untuk almarhum suami tercinta.  Mbu selalu bilang tidak ingin merepotkan siapapun kalaupun harus menginap di rumah anak-anaknya tidak lebih dari tiga hari.  Bisa di bayangkan waktu itu awal tahun 90an belum ada jalan tol, betapa hebohnya perjalanan dari Menes-Jakarta sepanjang 150 km untuk usia 85 tahun.

   Pernah suatu kali ayahku di telepon tetangga yang mengabari kalau Mbu demam tinggi,  mengingat ini situasi genting tanpa panjang lebar ayahku langsung   meninggalkan pekerjaannya demi menemui belahan jiwanya. Dengan di dampingi ibu, ayah berusaha untuk tenang sambil tidak hentinya berdo'a agar tidak ada sesuatu yang di menakutkan.  empat jam kemudian ayah dan ibu sudah sampai di tempat tujuan, sudah banyak tetangga yang berkumpul.  Dengan perasaan dag dig dug, ayah mengusap wajah Mbu sambil mencium tangannya.  Tiba-tiba Mbu terbangun sambil bertanya dengan nada tinggi 
"Jagungnya mana!"
"Jagung apa, Bu?" tanya ayah.
"Jagung bakar!" seru Mbu lagi.
Dengan wajah panik ayah berusaha mencari tahu, kemudian mang Engkus yang biasa menjaga rumah Mbu menerangkan bahwa sudah 3 hari Mbu minta jagung bakar.  Ibuku tidak kalah emosi,
"Kenapa ga di beliin, nanti juga di ganti uangnya!"
Dengan wajah lesu Mang Engkus menjawab, "Bukan ga mau beliin teh, tapi gimana makannya!".
Ayah, ibu dan tetangga yang berada di dekat Mbu terdiam semua. Tiba-tiba semua berpaling ke arah adikku yang sedang tertawa geli,
"Gimana Mbu mau makan jagung bakar, kan giginya Mbu ompong!" seru adikku.
Akhirnya kami semua tertawa  menyadari hal itu.