Minggu, 16 April 2017

MIYU-MIYU

"Pagi Bintang" suara itu terdengar serak.
Aku menoleh melihatnya tersenyum manis.

"Pagiii, Sel!" seruku senang melihatnya mulai pulih.

Kusibakan tirai jendela agar sinar mentari dan udara segar bisa masuk melalui jendela yang baru saja dibuka.  Secepatnya kuhampiri dia sambil menanyakan keadaannya dan diantara semangat ini,
"Adow...aduuuh sakit tau!" suara nyaring Icha yang mengaduh kesakitan.

Tanpa sadar kakiku menginjak tangan Icha yang sedang tidur di bawah ranjang Marsel.

"Yahh, maaf Cha...maaf!" seruku kaget.

Aku juga heran kenapa Icha bisa ada di kolong ranjang padahal tadi tidur di sofa.
Mendengar suara gaduh dan ketawanya Marsel, Bu Melia buru-buru keluar dari kamar mandi.

"Ada apa,sih!!" suaranya agak meninggi.

"Tangan Icha tadi ga sengaja keinjek" suara Bintang terdengar takut.

Bukannya memarahi Bintang, Bu Melia malah memarahi Icha yang punya hobi tidur serampangan.  Calon adik ipar ini memang terkenal tidurnya sambil pencak silat, awal tidur di ujung kiri kasur entah bagaimana caranya saat terbangun posisinya sudah ada sebelah kanan kasur dengan kepala menjuntai ke bawah mirip kasus pembunuhan.

   Sambil menahan tawa teringat mengapa semalam Bu Melia memaksa menyuruh Icha tidur sendiri di sofa sedangkan aku dan Bu Melia tidur beralaskan kasur lipat di lantai. 

"Udah cepetan bangun, terus mandi!" rentetan kemarahan Bu Melia kepada anak bungsunya.

"Ko bisa kamu ada di kolong, Cha?" tanyaku penasaran.

"Iya, tadi habis shalat subuh masih ngantuk jadi ketiduran di sejadah!" urainya sambil meringis menahan sakit.

Aku dan Marsel hanya bisa senyum sambil menggelengkan kepala melihat gaya sembrono anak manja ini.
Adiknya memang terpaut usianya sepuluh tahun dengan Marsel, wajar kalau selalu minta perhatian lebih. 

   Melihat Marsel sudah bisa berkomunikasi dengan baik membuat kami bertiga yang menjaganya sejak tiga hari yang lalu tidak merasa jenuh.

   Setelah kepergian ayahnya lima tahun yang lalu menjadikan Marsel tumpuan  karena dialah lelaki semata wayang di keluarganya.  Dengan melanjutkan usaha kontraktor peninggalan ayahnya, Marsel jatuh bangun memberikan yang terbaik untuk menghidupi ibu, adik dan puluhan karyawannya.  Alhamdulillah, kedua kakaknya sudah berkeluarga dan memiliki ekonomi yang baik.  Sehingga tidak menambah beban hidupnya.

    Pagi ini Dokter Agus sedang memeriksa kondisi Marsel.
"Alhamdulillah, dah bagus ko! Tetap jaga kesehatan, ya dan jangan terlalu cape mikir!" serunya tersenyum sambil menyuruh suster untuk menyiapkan administrasi untuk kepulangan Marsel.
Icha sibuk mengabari keluarganya kalau Marsel sudah di ijinkan pulang, jelas terlihat perasaan lega dan senang menyelimuti kami semua. 
 
   Setengah jam kemudian Mba Mey dan Mba Ii kakak keduanya yang menetap di  Bengkulu datang dengan membawa kedua anaknya.  Pintu terkuak dengan di iringi suara ramai kedua makhluk kecil ini.

"Assalamualaikum, Om Aseeel" ujar kedua keponakannya berlari ke arahnya.  Wajah Marsel terlihat sumringah di kelilingi keluarganya.  Dalam hati, aku mengagumi betapa Marsel hidup di sayang dan diperhatikan oleh orang-orang disekelilingnya hal ini adalah buah dari rasa cintanya yang tulus untuk orang-orang sekitarnya.

Mba Mey mengenalkan aku dengan Mba Ii dan kedua putra-putrinya.

"Hai tante Bintang!" ujar mereka bersamaan.

"Hai juga, namanya sapa sih?" tanya Bintang sambil berjongkok.

"Aku Aurora, terus ini ade" ujarnya sambil menunjuk  adiknya.

"Namanya bukan bukan ade, ka! Tapi Andre" jelas Mba Ii sambil merangkulku.

"Karena sering di panggil ade jadi dia pikir nama adiknya ade" jelasnya sambil melirik kedua bocah berusia tiga dan dua tahun.  Canda tawa keduanya meramaikan kamar ini. 

   Setengah hati Marsel menghabiskan makan siangnya,
"Ga enak, hambar ganti nasi padang aja deh!" ujarnya memelas.

"Ngawur aja lu, emangnye di hotel bisa pesen makanan enak!!" gerutu Mba Ii yang di sambut tawa kami semua.

"Makanya cepat sembuh, terus nikah jadi ada yang urusin" cecar Mba Mey sambil melirik kita berdua.

Sambil senyum-senyum Marsel menyolekku,
"Tuh, ditanyain ko diem aja."

Kalau sepi mau rasanya piring yang ku pegang ini mampir ke kepalanya.  Mereka semua tertawa melihat wajahku yang sudah tidak jelas warnanya karena di goda terus . 

  Semua bersiap-siap untuk meninggalkan kamar.  Tiba-tiba Aurora mendekati Marsel,
"Om, kaka baru inget".

"Apa ka?" tanya Marsel.

"Tante ini kan yang gambarnya ada di lemarinya om ya...?"  tanyanya lagi.

"Yang mana, ka?" tanya Marsel lagi sambil berusaha mengingat.

"Yang waktu itu kaka mo ambil terus om bilang ga boleh!" seru Aurora berusaha mengingatkan omnya.

"Yang mana yaa, Ka?" sahut Marsel lagi.

"Bener ko...yang ada tanduk terus giginya panjang keluar kaya setan!" serunya ngotot.
Kami terhenyak mendengar perkataannya lantas Mba Ii menimpali,
"Kaka salah kali!" Mba Ii berusaha mengalihkan rasa penasaran putrinya yang mewarisi ingatan tajam Angga papanya.

"Maaf ya Bintang!" ujarnya sambil memegang pundakku.

"Ga pa pa, Mba. Namanya juga anak-anak" jawabku datar sambil melirik Marsel yang meringis. Entah kesakitan atau malu karena ketahuan dosanya.

"Iya, waktu itu om bilang namanya Miyu-miyu karena suka marah-marah." jelasnya tanpa henti.

Aku hanya ngebatin, "awas ya!"

"Sudah-sudah, ayo kita pulang nanti keburu macet!" suara lembut Bu Melia mencoba mencairkan suasana.

"Mas, pulang pake mobil Bintang aja" ujar Marsel kepada ibunya.

"Bintang yakin bisa nyupir...ga kecapean?" tanya Mba Mey.

"Ga Mba" senyum Bintang berusaha meyakinkan Mba Mey dan yang lainnya.

Sepanjang perjalanan pulang Marsel berusaha membujuk Bintang bahwa itu hanya kekesalan sesaat. 

Dalam hatinya Bintang masih mencoba untuk menawar "untuk apa air matanya yang kemarin?".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar