Cutiku sudah habis, rencana esok kembali ke dunia nyata untuk mencari nafkah yang pada akhirnya akan diberikan kepada siapa aku juga belum tahu. Telepon genggamku menyala dengan nama yang sudah tidak asing lagi tertera di layar. Dengan setengah kantuk ku jawab teleponnya.
"Ya Sel, kenapa?"
"Belum tidur, besokkan kerja?" tanya tuan muda ini.
"Gimana mo tidur kalo diganggu sama bunyi telepon kamu"
"Ok deh sorry... tapi ga marah sama aku lagi kan?" tanyanya dengan nada mirip balita tidak kebagian gulali.
"Tau ah, ngantuk mo tidur nih!" rajukku.
"Ya deh cantik...jangan lupa berdoa terus nanti mimpiin aku ya sayang" goda Marsel lagi.
"Gombal! Malu sama umur tahu!" jawabku sambil menahan tawa.
"Romantis dikit ngapah?" ujarnya lucu.
"Udah ah, gue tutup nih hp-nya!" ancamku sambil tak kuat menahan tawa.
"Ok deh, met bobo Miyu-miyu sayang hadirkan aku yaa...cup-cup ah" ujarnya manja.
"Iyaaa.." ku akhiri telepon dengan suara datar.
Perasaan bahagia mengantarkan tidurku.
Dengan semangat yang sudah ku kumpulkan dari semalam, aku berharap yang terbaik untuk diriku dan orang-orang yang tersayang.
Di saat aku sedang bersiap-siap tiba-tiba Tiwi asisten rumah tanggaku mengetuk pintu,
"Kenapa Wi?" tanyaku sambil membuka pintu kamar.
"Ada tamu Bu, katanya sudah janji" jelas Tiwi.
"Siapa?" tanyaku lagi.
"Ga tau saya belum pernah lihat" jawab Tiwi sekenanya.
"Ya udah, suruh tunggu di luar!" perintahku.
"Ya Bu" ujarnya sambil berlalu.
Karena penasaran ku percepat acara rutinitas pagi. Belum sampai ruang tamu sudah terlihat tamu tak diundang sedang duduk manis dengan mulut yang penuh makanan.
"Ngapain ke sini!" hardikku melihatnya senyum-senyum.
"Lapeerr, dari kemaren belum makan karena susternya ga dateng" jawabnya santai.
"Marseeel, bisa ga sih sekali aja ga bikin gue kesel. Kan di suruh istirahat, ngapain keluyuran!" jawabku kesal.
"Makanya jadi suster yang rajin kalo pasien belum sembuh jangan kabur-kaburan mulu!" jawabnya berlalu ke arah ruang tivi.
"Sel, gue mo kerja nih terus ngapain sendirian disini. Bentar lagi si Tiwi pulang, diakan cuma sebentar."
"Marsel ayo cepet dong, nanti gue telat" suaraku mulai melemah.
"Seelll!" suaraku tambah melengking karena kesal tidak ada tanggapan.
Ya Allah...dia tertidur pulas di karpet dengan tivi yang masih menyala. Ku coba menahan emosi menghadapi pasien satu ini. Beberapa nomor hp yang ku hubungi semuanya nada sibuk. Akhirnya pesan singkat via WA tentang keberadaan Marsel di rumahku telah dibaca Icha. Tidak lama Icha menelponku,
"Assalamualaikum" suara Icha terdengar serak.
"Wa alaikumussalam, ya Cha" jawabku pelan kuatir membangunnya.
"Ni ka, mama mo ngomong" ujar Icha sambil menyerahkan telepon genggam ke Bu Melia.
"Bintang, mama minta maaf ya karena pagi-pagi sudah direpotin sama Marsel!" suara Bu Melia memohon.
"Ya udah ga pa pa mam, tadi sudah sarapan dan sekarang lagi tidur!" jawabku datar.
Setelah mengantar Marsel pulang dua hari yang lalu Bu Melia ingin aku memanggilnya mama biar lebih akrab.
"Di rumah ada pembantu ga?" tanya Bu Melia kuatir.
"Ada mam cuma ga nginep, tapi rumahnya deket dibelakang komplek sini ko!" jelasku.
"Kamukan mo kerja, bisa minta tolong si mbanya suruh tunggu dulu sampai mama datang ya!" pintanya.
"Ok mam, tenang aja" salamku mengakhiri pembicaraan ini.
Ku temui Tiwi yang sedang mencuci di atas.
"Wi, tadi ko dia bisa masuk. Kan ibu sudah suruh tunggu di luar!" mencari tahu.
"Bapak itu bilang dia tunangannya ibu...lah kenapa ibu tadi perhatian banget sama Pak Marsel" jawabnya polos.
"Udah deh berisik!" jawabku kesal.
Rencana mau cari info malah jadi terjebak perkataannya Tiwi.
Tiwi sudah diinstruksikan untuk menyiapkan makanan sambil menunggu Bu Melia datang.
Perjalanan ke kantor agak terhambat karena kehadiran pasien yang sekarang banyak menuntut. Dibalik rasa kesal yang bertumpuk masih terselip keberuntungan.
"Alhamdulillah, untung finger printku belum berwarna merah jadi ga kepotong, deh!" batinku senang.
Saat memasuki ruang kerjaku, tiba-tiba sobat sekaligus menejer personalia menyerobot masuk.
"Kemarin kemana, Bu?" tanyanya penuh selidik.
"Lagi banyak urusan" jawabku datar.
"Masalah perjodohan lagi?" tanya Dewi penasaran.
Dia memang sahabatku tapi saat ini Dewi belum boleh tahu masalah yang sebenarnya apalagi sampai tahu kalau Marsel sedang tidur di rumah. Bisa panjang urusan gosip di kantor ini.
Sudah sejak lama kakak-kakakku melakukan bisnis perjodohan yang membuat geram.
Langsung ku jawab hp-ku yang berdering sejak tadi,
"Ya Wi" jawabku singkat kuatir Dewi curiga.
"Ibunya Pak Marsel dan mbakyunya sudah datang, tapi Pak Marsel masih tidur. Terus saya boleh pulang ga?" ujar Tiwi seperti kereta langsir.
"Ya udah sekarang kamu boleh pulang nanti pas makan siang saya mampir yang penting kerjaanmu beres!" perintahku lagi.
"Repot banget sih, emang lagi ada tamu agung?" cecar Dewi semakin gesit.
"Ya ampiun...udah deh bu waktunya kerja. Nih liat tumpukan tugas yang belom gue periksa!" jelasku dengan nada super judes.
Dewi langsung berlalu dengan senyum sinis,
"Makanya kawin, biar ada temen sharing!".
Untung aku biasa kerja serabutan jadi sebelum makan siang semua sudah siap untuk di periksa sama bos idola wanita sekantor kecuali aku!.
Mobil sudah kuparkir di depan rumah sekarang urusan satu jam ke depan adalah menangani pasien manja ini.
Dengan sedikit basa-basi kupersilahkan Bu Melia dan Mba Mey untuk makan siang. Sambil bersantap siang kami membicarakan kelangsungan hubunganku dengan Marsel.
Kucoba memahami situasi ini tetapi akal sehat dan batinku selalu bertentangan. Di satu sisi figur ayah adalah salah satu syarat calon suamiku tetapi disisi lain membuka hati untuk pria lain apa salahnya. Entah darimana datangnya ide ini yang penting ayahku sama dengan kamu dalam hal tanggung jawab! Yess thanks Allah!